Kamis, 03 November 2011

DAMPAK KOMUNIKASI POLITIK (A-IK-,5)


I.         Perubahan Pengetahuan
Dalam ilmu politik, istilah komunikasi politik masih relatif baru. Istilah tersebut mulai banyak disebut-sebut semenjak terbitnya tulisan Gabriel Almond yang amat terpengaruh di dalam buku The Politic of the Development Areas pada tahun 1960. Almond berpendapat bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik sehingga terbuka kemungkinan bagi para ilmuwan politik untuk memperbandingkan berbagai sistem politik dengan latar belakang budaya yang berbeda. Arti penting sumbangan pemikiran Almond terletak pada pandangannya bahwa semua sistem politik yang pernah ada di dunia ini, yang ada sekarang, dan yang akan ada nanti mempunyai persamaan-persamaan yang mendasar, yaitu adanya kesamaan fungsi yang dijalankan oleh semua sistem politik. Hal ini membantah pandangan yang dianut semenjak lama bahwa sistem politik yang satu sangat berbeda denga sistem politik yang lainnya karena adanya perbedaan budaya, pengalaman, lingkungan, watak, dan lain sebagainya. Pandangan Almond menyadarkan para pembacanya bahwa perbedaan-perbedaan yang terlihat diantara sistem-sistem politik hanya bersifat superficial dan tidak bersifat mendasar. Dalam pandangannya, kita tidak boleh tertipu oleh struktur politik yang nampak berbeda, karena fungsi-fungsi yang dijalankan oleh struktur politik dalam setiap sistem politik adalah sama.
Komunikasi politik adalah salah satu dari tujuh fungsi yang dijalankan oleh setiap sistem politik. Dalam kata-kata Almond sendiri :
All of the functions performed in the political system-political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication-are performed by means of communication.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
Di sini dapat terlihat pendapat para ilmuwan politik (dalam hal ini adalah ilmuwan politik behavioralis) yang agak berbeda dari pandangan para ilmuwan komunikasi dalam melihat komunikasi politik. Apabila ilmuwan komunikasi lebih banyak membahas peranan media massa dalam komunikasi politik (dengan sedikit perhatian pada komunikasi antarpribadi), para ilmuwan politik mengartikan komunikasi politik sebagai proses komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik dalam setiap kegiatan kemasyarakatan. Bagi ilmuwan komunikasi, saluran komunikasi dalam bentuk media massa adalah saluran komunikasi politik terpenting, sedangkan bagi ilmuwan politik saluran media massa dan saluran tatap muka memainkan peranan yang sama pentingnya.
Di atas telah disebutkan bahwa fungsi komunikasi politik dapat ditemukan di dalam fungsi-fungsi lainnya. Walaupun komunikasi politik mempunyai ciri seperti itu, tidaklah berarti bahwa komunikasi politik kecil perannya, justru sebaliknya. Komunikasi politik adalah proses yang menentukan keberhasilan fungsi-fungsi lainnya, sedangkan keberhasilan penyampaian pesan-pesan dalam setiap fungsi itu menentukan keberhasilan pelaksanaan fungsi bersangkutan.
Artikulasi kepentingan, umpamanya, sangat tergantung pada komunikasi politik. Tanpa adanya komunikasi politik, artikulasi kepentingan adalah benda mati, karena artikulasi itu sendiri tidak ada. Menurut Almond, artikulasi kepentingan dijalankan oleh organisasi-organisasi politik dalam bentuk penyampaian kepentingan-kepentinga yang terdapat di dalam masyarakat kepada penguasa politik (dengan kata lain: pemerintah). Proses komunikasinya terlekak pada “penyampaian”. Keberhasilan penyampaian pesan-pesan (dalam bentuk kepentingan-kepentingan warga masyarakat) memainkan peranan yang amat penting dalam penentuan keberhasilan pelaksanaan fungsi artikulasi kepentingan.
Contoh lain yang dapat dikemukakan dalam kesempatan ini adalah pelaksanaan fungsi pembuatan peraturan (rule making). Sudah teramat jelas disini bahwa komunikasi memainkan peranan yang amat penting dalam proses pembuatan peraturan (undang-undang atau pun bentuk ketentuan pertauran lainnya). Si pembuat peraturan dituntut untuk menjalin kerjasama, hubungan, dan komunikasi yang baik antara sesama mereka. Absennya hal-hal tersebut tadi tentu saja akan sangat menghambat keberhasilan fungsi pembuatan peraturan.
Di samping itu, komunikasi dengan masyarakat (rakyat) perlu pula dijaga oleh para pembuat keputusan (ingat bahwa yang dimaksud dengan pembuatan keputusan di sini adalah pembuat keputusan politik, yaitu pemerintah). Sistem demokrasi menuntut adanya pengaruh yang besar dari masyarakat terhadap penguasa politik dalam proses pembuatan keputusan/peraturan. Almond juga menunjukkan pada tulisannya di atas bahwa sistem nondemokratis pun masih mungkin memperhatikan suara-suara rakyat, namun tentu saja dengan cara-cara dan struktur yang berbeda dari sistem politik demokratis. Dari konsep ini muncullah istilah yang juga dipopulerkan oleh para ilmuwan politik behavioralis, yaitu input atau masukan. Masukan bisa berasal dari masyarakat luas (inilah yang ideal dalam pandangan demokrasi) atau pun dari kalangan yang terbatas (kelompok/klik penguasa atau aggota keluarga dekat) yang umumnya berlaku dalam sistem nondemokratis.
Sebelum tahun 1960, ilmu politik-barangkali juga ilmu komunikasi-tidak mengenal istilah komunikasi politik. Namun tidaklah berarti bahwa tidak ada studi-studi yang dilakukan oleh para ilmuwan sosial (ilmuwan politik, ilmuwan komunikasi, sosiolog, ataupun psikolog) atas masalah yang menjadi objek studi dari komunikasi politik nantinya. Kegiatan yang mempelajari materi komunikasi politik telah ada semenjak lama, walaupun tidak di bawah bendera komunikasi politik. Studi tentang tingkah laku pemilih, propaganda dan perang urat syaraf, serta perubahan attitude dalam proses komunikasi telah di adakan semenjak lama. Semua studi ini telah meletakkan dasar yang kokoh bagi pengembangan studi komunikasi politik pada masa setelah 1960.
Tingkah laku para pemilih dalam pemilihan umum sudah lama menjadi perhatian para ilmuwan poitik. Yang menjadi pertanyaan terpenting para ilmuwa politik-sehubungan dengan studi voting behavior-adalah apa alasan-alasan seorang pemilih untuk memilih partai politik tertentu dalam suatu pemilihan umum dan apa alasan seseorang pemilih untuk mengubah pilihannya dengan memilih partai politik lain.
Lazarsfeld dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa kontak tatap muka adalah faktor penyebab terpenting dalam perubahan pilihan para pemilih. Hubungan yang erat dengan sesama anggota masyarakat yang dikenal baik dan dipercaya merupakan jaminan bahwa informasi yang disampaikan oleh tokoh tersebut layak di ikuti. Sifat-sifat hubungan tatap muka langsung memungkinkan komunikan untuk mendapat lebih banyak informasi dari opinion leaders.
Teori dua tahap penyebaran arus komunikasi ini menganut pandangan bahwa media massa sebelumnya memainkan peranan yang penting dalam penyebaran informasi. Tanpa penyebaran media massa yang cukup luas, teori dua tahap penyebaran arus komunikasi tersebut tidak akan banyak berarti. Studi Lazarsfeld dan kawan-kawan juga menemukan bahwa media massa telah memainkan peranan penting sebagai penyalur informasi pada waktu penelitian mereka berlangsung. Sejak awal surat kabar memainkan peranan terpenting di antara berbagai bentuk media massa sebagai penyalur informasi.
Kaitan antara media massa dan tingkah laku pemilih dalam pemilihan umum telah banyak dikaji oleh para penulis, terutama ilmuwan komunikasi. Sidney Kraus dan Denis David, umpamanya, berpendapat bahwa media massa memainkan peranan yang penting dalam kampanye pemilu. Mereka bahkan berpendapat bahwa televisi yang berkembang pesat di Amerika Serikat semenjak tahu 1950-an telah berhasil menggeser kontak tatap muka sebagai saluran terpenting dalam penyampaian informasi politik.
Dengan membandingkan studi Lazarsfeld dan kawan-kawan yang diadakan pada tahun 1940 (sebagaimana dikutip diatas) dengan tulisan Kraus dan Davis terlihat bahwa teori dua tahap penyebaran arus komunikasi menjadi kurang relevan dengan meningkatnya peranan televisi sebagai media massa. Televisi menjadi media massa yang paling banyak dikaji oleh para ilmuwan sosial mengingat daya tariknya yang hebat sebagai sarana hiburan yang relatif murah. Daya tarik kuat yang dimiliki oleh televisi sebagai sarana hiburan membuat banyak pihak (termasuk pemerintah) memanfaatkannya untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada masyarakat karena jangkauan audience-nya yang jauh lebih luas dibandingkan dengan media massa lainnya.
Menyadari pentingnya dampak televisi, pada tahun 1976, pemerintah Indonesia (dalam hal ini Departemnen Penerangan) bekerja sama dengan LRKN-LIPI (pada waktu itu) dan East West Center mengadakan penelitian jangka panjang tentang dampak televisi bagi masyarakat Indonesia. Arti penting penyelenggaraan penelitian ini juga didorong oleh pemakaian sistem satelit domestik Palapa untuk menyiarkan televisi ke seluruh wilayah Indonesia. Penelitian tersebut telah menghasilkan sejumlah laporan penelitian yang telah dimanfaatkan oleh Departemen Penerangan dalam merumuskan kebijakannya.
Studi tingkah laku masih tetap merupakan studi yang menonjol dalam ilmu politik sampai saat ini. Hal ini berarti bahwa studi tentang tingkah laku pemilih pada pemilihan umum merupakan bidang studi komunikasi politik yang terpenting dalam ilmu politik. Studi ini dilakukan terutama oleh para ilmuwan politik Amerika Serikat terhadap pemilihan umum yang di adakan di Negara mereka dengan menggunakan penyajian data dan metode statistik yang rumit.
Studi tingkah laku pemilih berkaitan erat dengan studi dampak komunikasi dan studi attitude (sikap mental). Studi dampak komunikasi mempelajari dampak komunikasi terhapdap orang yang dikenai oleh arus komunikasi tersebut. Asumsinya, pesan-pesan yang disampaikan melalui komunikasi ditangkap oleh alam pikiran si penerima yang pada gilirannyadapat mempengaruhi cara berpikir dan tingkah laku orang bersangkutan. Dampak yang diperkirakan terjadi adalah bertambahnya informasi. Informasi tersebut dapat mengakibatkan terciptanya alam pikiran dan tingkah laku yang diinginkan oleh masyarakat (dampak positif) maupun tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat bersangkutan. Kedua jenis dampak ini merupakan kajian utama atas studi dampak komunikasi dan sikap mental.
Studi komunikasi politik memperoleh bantuan yang besar dengan adanya pelbagai macam studi yang disinggung di atas. Masalahnya adalah bahwa dampak komunikasi terhadap alam pikiran dan tingkah laku anggota masyarakat juga mencakup bidang politik. Oleh karena itu dampak komunikasi dalam bentuk perubahan sikap dan tingkah laku di berbagai bidang kehidupan masyarakat (ekonomi dan pendidikan, umpamanya) juga relevan untuk menjelaskan perubahan sikap dan tingkah laku politik. Namun memang harus di akui bahwa studi komunikasi politik selama ini lebih banyak menyorot perubahan sikap dan tingkah laku para pemilih dalam pemililihan umum (seperti telah disinggung sebelumnya).
Unsur ketiga dalam studi ilmu komunikasi politik adalah studi tentang propaganda dan perang urat syaraf. Studi propaganda termasuk ke dalam bidang ilmu komunikasi karena praktek-praktek poropaganda pada hakikatnya adalah penyampaian pesan-pesan secara sistematis dan intensif oleh penguasa politik kepada masyarakat sehingga tujuan-tujuan politik tertentu yang di anut oleh penguasa politik dapat dicapai. Guna mencapai tujuan-tujuan tersebut, penguasa politik tentu saja menghadapi banyak hambatan. Dalam kaitan ini propaganda dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut.
Kajian propaganda telah berkembang jauh sebelum Perang Dunia II. Namun kajian tersebut berkembang pesat menjelang dan selama Perang Dunia II. Keberhasilan yang dicapai oleh Nazi Jerman atas program propagandanya telah membuka mata banyak penguasa politik dan berbagai pihak lainnya bahwa komunikasi politik yang terencana dengan baik dan sistematis akan memberikan keuntungan-keuntungan politis bagi penguasa bersangkutan.
Studi komunikasi politik yang mengkaji propaganda politik tidak dapat dilakukan di setiap sistem politik karena propaganda politik mempunyai konotasi otoriterianisme, oleh sebab itu nyaris tak dikenal oleh sistem politik yang menganut nilai-nilai demokratis. Dalam sistem demokratis, yang ada hanya penyampaian informasi biasa, sedangkan propaganda mengandung pengertian penyampaian informasi secara terus-menerus-kalau perlu dibarengi dengan penggunaan kekerasan fisik terhadap pihak-pihak yang tidak setuju-tanpa menghiraukan hak-hak si penerima pesan (dalam hal ini adalah rakyat) untuk menghindar dari arus informasi tersebut. Jadi karena Negara demokrasi tidak mengadakan propaganda politik, maka kajian tersebut tidak dapat diadakan disana. Hal ini menyebabkan langkanya studi propaganda politik setelah Perang Dunia II.
Propaganda politik merupakan senjata yang amat penting bagi rezim-rezim komunis. Kegiatan-kegiatan di bidang komunikasi digunakan sebagai alat yang ampuh di tangan penguasa komunis untuk mengembangkan ajaran komunisme dan menghilangkan nilai-nilai tradisional yang menghambat perkembangan masyarakat komunis. Godwin C.Chu, umpamanya, telah menunjukkan keberhasilan penguasa Cina komunis dalam menggunakan komunikasi untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka. Tuan tanah dan para penguasa berhasil ditumbangkan melalui gabungan penggunaan komunikasi dan kekerasan. Di sini terlihat bahwa studi propaganda politik masih relevan untuk mempelajari rezim komunis ataupun rezim otoriter lainnya.

II.      Perubahan Sikap
Definisi sikap menurut G.W. Allport dalam buku Komunikasi Politik (2010 : 137) adalah keadaan mental dari saraf dan kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respons individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya.
Menurut Windari dalam Mahi M.Hikmat (2010: 138) sikap adalah faktor yang menentukan perilaku karena berkaitan dengan persepsi, kepribadian, dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan siap mental yang dipelajari dan diorganisasikan menurut pengalaman serta yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atau reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek, dan situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan.
     Dari keseluruhan definisi sikap tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan salah satu kajian psikologi yang dapat digunakan untuk meramalkan tingkah laku,  baik perorangan, kelompok, maupun suatu bangsa.
     Adapun hubungan antara pendirian dan sikap oleh Ndraha dalam Mahi M. Hikmat (2010: 138) ditusngkan dalam sebuah tabel berikut:

Pendirian
Kuat
Teguh
Sedang
Sedang
Lemah
Goyah
Sikap
Positif
Tetap
Ambivalen
Berubah
Negatif
1
4
7
10
13
2
5
8
11
14
3
6
9
12
15

Dalam tabel tampak bahwa indikator pendirian, yaitu kuat atau lemah. Pendirian bersifat eksistensial. Pendirian adalah suatu yang given dan androgynous. Bagi siapa pun, berubah pendirian berarti mati. Perubahan sikapn seseorang tidak disebabkan oleh pendiriannya berubah, tetapi ditentukan oleh faktor lain.
     Menurut Harry C.Triandis dalam Mahi M.Hikmat (2010: 139) sikap memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1.     Membantu orang memahami dunia di sekelilingnya dengan mengorganisasikan dan menyederhanakan masukan yang sangat kompleks dari lingkungan
2.     Melindungi harga diri orang dengan memungkinkan mereka menghindari dari kenyataan-kenyataan yang kurang menyenangkan sehubungan dengan diri mereka.
3.     Membantu orang menyesuaikan diri dalam dunia yang kompleks ini dengan membuat mereka cenderung bertingkah laku tertentu (yang diterima lingkungannya) untuk memaksimumkan ganjaran positif dari lingkungan.
4.     Memungkinkan orang mengekspresikan nilai-nilai atau pandangan-pandangan hidupnya yang mendasar.

Menurut Almond dan Verba dalam Mahi M.Hikmat (2010: 147), orientasi politik adalah sikap warga negara terhadap sistem politik termasuk aneka ragam segmennya, serta sikapnya terhadap peran diri pribadi di dalam sistem tersebut.
Dari pendapat tersebut, menunjukkan bahwa setiap warga negara, termasuk politikus, dianggap memiliki pengaruh tertentu kepada pengambilan keputusan di dalam sistem yang bersangkutan. Artinya, setiap politikus yang menjadi anggota dewan, memiliki orientasi politik yang tidak jauh berbeda dengan rakyat biasa. Hal ini dikarenakan mereka berasal dari masyarakat setempat dan mengalami proses sosialisasi politik yang sama. Perbedaannya dengan rakyat biasa adalah mereka cenderung menerima nilai-nilai demokrasi dengan sikap positif.
Mengenai sikap dan perilaku anggota dewan, Arbit Sanit dalam Mahi M.Hikmat (2010: 148) mengemukakan bahwa terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam pembentukan perilaku anggota dewan di Indonesia ini, yakni pemilih, organisasi politik, eksekutif, dan diri pribadi anggota dewan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku anggota dewan pada hakikatnya didasarkan pada ide dan kepentingan kelima pihak tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa perilaku anggota dewan ditandai pola-pola tertentu sesuai dengan hubungan antara mereka dan pihak-pihak yang membawa pengaruh tersebut.
Menurut Abcarian dan Masannat dalam Mahim M.Hikmat (2010: 148), pola-pola tersebut secara perinci dapat diuraikan sebagai berikut:
a.     The Representative a Trustee
Pada pola ini, si wakil sebagai anggota legislatif yang dipilih bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri melihat kepentingan-kepentingan tertentu dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun ia menghargai pihak pemilih, tidak berarti si wakil boleh mengorbankan pertimbangan pribadi.
b.     The Representative as a Delegate
Pada pola ini, si wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya sedemikian rupa sehingga ia selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
c.     The Representative as Politico
Pola ini merupakan gabungan dari kedua pola di atas. Tindakannya tergantung dari permaasalahan yang dihadapi. Apabila isu atau permasalahannya bersifat mendesak atau berhubungan dengan kepentingan pemilihnya, si wakil akan bertindak secra delegate. Namun, bila keadaannya tidak seperti di atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu trustee
d.    The Representative as a Partisan
Pada pola ini, si wakil bertinddak sesuai dengan keinginan partai yang mendukung. Setelah dipilih, si wakil mulai hubungannya dengan organisasi politik yang mencalonkannya dalam pemilihan itu.

III.             Perubahan Perilaku
Proses komunikasi politik dimana partisipan menyampaikan pesan yang memiliki signifikasi dengan politik kemudian direspon oleh pihak-pihak terkait atau yang memiliki kepentingan. Dalam prosesnya ini maka akan terjadi yang namanya pengaruh (effect) tertentu. Pengaruh mungkin bisa berupa perubahan situasi yang sama sebagaimana dikehendaki oleh pemrakarsa pesan, tidak terjadi perubahan apa-apa, dan mungkin dapat berupa situasi lebih buruk lagi.
Komunikasi politik merupakan proses perjuangan antar kepentingan dalam suatu sistem politik dengan menggunakan tanda-tanda pesan baik verbal maupun non-verbal.  Dari sini jelas bahwa politik di suatu sisi  merupakan persoalan siapa memperoleh apa (who gets what), tetapi di sisi lain politik juga merupakan persoalan siapa mengatakan apa (who says what) (Dye dan Zeigler, 1986:3; Pawito, 2004:1).Politik dalam pengertian pertama memiliki esensi penjatahan sumber daya publik. Sedangkan dalam pengertian kedua politik lebih memiliki esensi komunkasi.
Pengaruh komunikasi politik kadangkala dapat diprediksi tetapi kadangkala juga sulit diprediksikan. Misalnya unjuk rasa yang memperoleh dukungan luas dari elemen masyarakat, diamplifikasi secara besar-besaran oleh media massa dan ditopang secara kuat oleh opini masyarakat internasional dapat diprediksi lebih berhasil mendesakkan perubahan sebagaimana dikehendaki oleh unsur-unsur penggerak perubahan. Contoh kasusnya pada tahun 1998 yang ditandai oleh tumbangnya Presiden Suharto.
Namun demikian, beberapa komunikasi politik termasuk yang tampil dalam bentuk aksi-aksi protes dan demonstrasi mungkin mengalami kegagalan. Tidak membuahkan hasil seperti yang dikehendaki penggeraknya. Misalnya,tuntutan pembatalan kenaikan harga BBM di tahun 2006 tidak membuahkan hasil.
Beberapa komunikasi politik mempunyai efek segera (immediate effect, short-term effect), seperti keberhasilan yang dicapai oleh kalangan pro-pembatalan rencana penggunaan hak angket oleh DPR berkenaan dengan rencana kebijakan impor beras tahun 2006. keberhasilan ini didahului upaya negosiasi yang dilakukan terhadap pihak yang semula bersebrangan.
Komunikasi politik kadangkala membawa efek jangka panjang (long-termeffect), seperti tuntutan perubahan sistem politik ke arah lebih terbuka dan demokratis untuk konteks Indonesia. Tuntutan ini dimulai sejak tahun 1980-an.

IV.             Perubahan Budaya Politik
Komunikasi politik adalah proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Proses ini terjadi secara berkesinambungan dan mencakup pula pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya pada semua tingkatan (miftachr.blog.uns.ac.id).
Menurut Almond dan Powell di dalam blog miftachr.blog.uns.ac.id, komunikasi politik merupakan suatu fungsi sistem yang mendasar (basic function of the system) dengan konsekuensi yang banyak untuk pemeliharaan ataupun perubahan dalam kebudayaan politik dan struktur politik. Seseorang tentunya dapat mengasumsikan bahwa semua perubahan penting dalam sistem politik akan menyangkut perubahan dalam pola-pola komunikasi, dan biasanya baik sebagai penyebab maupun akibat. Semua proses sosialisasi misalnya, merupakan proses komunikasi, meskipun komunikasi tidak harus selalu menghasilkan perubahan sikap (attitude change).
Fenomena terjadinya perubahan-perubahan sikap dan perilaku politik khususnya terjadi pasca berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Perubahan sendiri dipengaruhi oleh adanya interaksi dalam suatu proses politik yang melibatkan individu dan kelompok. Sementara keterlibatan politik seseorang atau sekelompok orang hampir selalu berkaitan dengan proses komunikasi politik yang diperankannya. Komunikasi politik tersebut mencakup organisasi-organisasi massa yang memperjuangkan suatu cita-cita politik melalui kegiatan berserikat serta menyatakan pendapatnya secara terbuka (Muis:1998). Oleh karena itu semakin muncul berbagai kekuatan sosial dengan peran-peran politiknya yang khas sebagai salah satu partisipan politik yang mepresentasikan masing-masing budaya, ideologi, serta berbagai kepentingan.
Salah satu pengaruh perubahan-perubahan yang akan dijelaskan dibawah ini merupakan pengaruh komunikasi politik terhadap perubahan budaya politik. Dimana menurut Almond dan Verba dalam blog belajar-komunikasi.blogspot.com mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
   a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Seluruhnya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
   b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
   c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
   d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men­dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Melalui pengertian diatas, dapat dilihat bahwa pemahaman konsep tersebut dipadu dari dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Orientasi bersifat individual menyebabkan timbulnya suatu pandangan bahwa sistem politik yang digunakan akan cenderung bergerak ke arah individualisme, namun jauh dari adanya pandangan tersebut pandangan ini hanya menjadi sebuah fenomena dalam masyarakat yang secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
Sesuai dengan penjelasan yang diberikan diatas dapat dikatakan bahwa hubungan  antara komunikasi dan kebudayaan yang menjadi penting dipahami terutama, yaitu untuk menggambarkan perilaku komunikasi manusia dalam mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik yang diperankannya. Melalui komunikasi sesuatu kebudayaan dapat tumbuh, berkembang dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap perilaku yang diperankan seseorang atau sekelompok orang dapat memberikan makna bagi yang lainnya, karena perilaku itu dipelajari dan diketahui melalui proses interaksi. Kebudayaan sendiri, menurut Krech dalam buku Komunikasi Politik Indonesia (2008:24), terbentuk melalui suatu proses yang diawali oleh adanya usaha-usaha anggota masyarakat dalam menemukan cara-cara penyelesaian masalah sehingga ditemukan suatu cara yang terbaik serta teruji kehandalannya dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pada proses berikutnya Krech mengatakan bahwa kebudayaan juga dipengaruhi oleh adanya kontak dengan kebudayaan kelompok yang lainnya. Adanya kesesuaian-kesesuaian  antara lingkungan sosial suatu masyarakat dengan sesuatu kebudayaan dapat terjadi proses saling keterpengaruhan antara kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa suatu sistem politik, budaya politik dan komunikasi politik merupakan satu unsur yang dinamis, yang secara sederhana, unsur-unsur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

BUDAYA POLITIK

SISTEM POLITIK                                                     KOMUNIKASI POLITIK














Daftar Pustaka

Drs. MAHI M. HIKMAT, M. (2010). Komunikasi Politik Teori Dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
MUHTADI, M. D. (2008). Komunikasi Politik Indonesia. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Nasrun, M. R. (1993). Indonesia Dan Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pawito, P. (2009). Komunikasi Politik Media Massa Dan Kampanye Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar