Sabtu, 05 November 2011

PARADIGMA KOMUNIKASI POLITIK (A-IK-5)

Oleh: Adelia Kristanti, Astrid Widhiasih, Luana Yunaneva

Paradigma adalah suatu pemikiran yang mendasari sesuatu hal. Dalam pelaksanaannya, paradigma menjadi landasan bagi seseorang maupun sekelompok orang dalam melakukan sesuatu, bahkan untuk mengembangkannya menjadi lebih baik.
Dalam komunikasi politik, ada tiga macam paradigma, antara lain:
1.Paradigma Divergen
2.Paradigma Konvergen
3.Paradigma Aksi-Reaksi

PARADIGMA DIVERGEN
Cara berpikir divergen adalah membiarkan pikiran kita untuk bergerak kemana-mana secara statis. kita dituntut untuk mengeluarkan apapun yang muncul di benak dan otak kita. munculnya satu ide akan dapat memicu timbulnya ide yang lain. sebanyak dan sejelek apapun ide yang muncul tetap akan ditampung. proses berpikir divergen adalah proses berpikir yang paling mudah muncul pada seseorang yang tidak terlalu memperhatikan baik-buruknya suatu nilai sehingga dapat dengan mudah melompat dari satu ide ke ide yang lain. ketika melahirkan sebuah ide, dituntut untuk mampu melihat dunia di sekeliling kita secara menyeluruh. dengan langkah inilah proses kreatif dalam berpikir semakin tajam sehingga ide yang muncul pun semakin bervariatif. pada dasarnya dalam metode divergen ini adalah menghilangkan penilaian. karena jika penilaian menghantui kita akan sulit untuk dapat menjalankan proses berpikir divergen secara efektif.

Divergenitas Pilihan Politik di Indonesia
Sikap politik masyarakat Indonesia selalu bersifat divergen. Divergen adalah sebuah jalan pemikiran, sikap, dan tindakan politik yang bercabang-cabang, yang kadang kontradiktif antara satu cabang pemikiran dengan cabang pemikiran lainnya. Bahasa gampangnya, pilihan politik tidak konsisten. Jatuhnya pilihan mayoritas pada Pemilu tahun 2004, hasil survai Indobarometer yang baru-baru ini dirilis dan berbagai survai lainnya menunjukkan popularitas Presiden SBY turun sampai di bawah 50 persen. Banyak lagi fenomena politik lain menunjukkan adanya divergenitas itu. Yang lebih unik, tetapi juga sekaligus tidak impresif, ialah adanya hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kelompok berpendidikan tinggi kurang berpartisipasi memberikan suara dalam pemilu untuk memilih calon yang dinilai kompeten, tetapi ikut mengkritisi kinerja pemerintah yang terbentuk setelah pemilu.

Kelompok Menengah ke Atas
Kualitas partisipasi politik kelompok menengah ke atas ini cukup besar dalam menjalankan politik yang produktif bagi kehidupan bangsa. Sayangnya, partisipasi politik itu dilakukan dengan jalur yang skunder, seperti mengritik pemerintah, bersimpati kepada demonstran, berbicara di media massa, atau mendiamkan berbagai ketidakberesan dengan alasannya sebagian besar adalah karena kesibukan. Di sini, terlihat lagi jalan pemikiran yang divergen, yaitu untuk datang ke TPS memberi suara kepada calon yang kompeten atau membentuk
partai politik idealis, mereka tidak sempat. Tetapi bersitegang di forum-forum ilmiah atau seminar-seminar, mereka begitu partisipatif seolah partisipasi politik jalur sekunder itu bisa begitu efektif memengaruhi pemerintah. Orang boleh menyebut divergenitas ini sebagai dinamika politik kelas atas. yang jelas, mereka yang divergen ini kehilangan kemampuan berpikir sederhana dalam politik, yaitu bukankah seharusnya mereka mendiseminasikan informasi tentang track record jagoannya sejak lama kepada orang-orangnya dan lalu pergi ke TPS untuk memberi suara - Ironis sekali kalau tidak berpartisipasi memberi suara dalam pemilu hanya karena berpikir bahwa suara mereka hanya satu, yang berarti tidak akan berpengaruh besar terhadap suara kelompok menengah ke bawah. Soal fenomena sikap politik yang divergen di kelompok menengah ke atas ini hanya satu dari sekian banyak kasus divergenitas sikap politik dalam kaitannya dengan struktur sosial. Mereka menjadi pihak pertama yang dibahas dalam tulisan ini karena status mereka yang lebih tinggi seharusnya diiringi juga dengan tanggung jawab yang lebih besar dalam memberikan pendidikan dan memengaruhi pilihan politik kelompok menengah ke bawah secara legal.

Kelompok Menengah ke Bawah
Di media massa, suara mereka relatif sama dengan kelompok menengah ke atas ketika menilai pemerintah, yaitu sebagian besar menilai kondisi ekonomi atau penegakan hukum buruk. Hanya pilihan kata dalam menilai itu saja yang berbeda. Tetapi, hasil pemilu atau hasil penelitian lembaga survai juga menunjukkan adanya divergenitas pilihan politik itu kembali. Kalau menurut mereka sebuah pemerintahan telah gagal, mengapa dipilih lagi atau diapresiasi dalam survai. Di sisi lain, kalau mereka memberi apresiasi dalam survai atau memilih kembali, mengapa dalam waktu relatif singkat dikatakan pemerintah telah ternyata telah gagal.

Paradigma Konvergen
Siapapun yang berada dalam setting politik bisa disebut sebagai komunikator politik. Dalam kaitan materi ini komunikator yang dimaksud adalah komunikator politik yang utama atau komunikator utama dalam politik. Komunikator politik disini adalah orang yang secara tetap dan berkesinambungan melakukan komunikasi politik. Oleh karenanya kemudian komunikator politik ini akan dititiktekankan kepada pemimpin dalam proses politik.
Setiap komunikator politik pasti memiliki strategi atau cara berpikir yang dipegang teguh demi tersampaikannya pesan secara efektif. Salah satu dari cara brpikir tersebuyt adalah paradigma konvergen. Pengertian paradigma konvergen adalah sebuah kerangka berpikir yang bersifat menuju satu titik atau bisa juga dikatakan memusat.
Konvergensi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu untuk menyebarkan gagasan-gagasan politik secara lebih leluasa dibandingkan dengan media massa konvensional. Bagi pemodal yang berafiliasi dengan kelompok politik, konvergensi memberi peluang yang labih terbuka untuk mentransformasikan gagasan politik tertentu untuk meraup suara publik. Dengan demikian maka konvergensi media berarti juga berpotensi menjadi medium hegemoni baru bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik untuk meraih keuntungan sepihak. Konfigurasi kekuatan semacam ini dapat mengancam terselenggaranya kehidupan demokrasi, karena, hakikatnya suara publik cenderung akan dikendalian oleh kekuatan dominan dari pemilik modal sekaligus kelompok kepentingan.
2011 adalah tahun yang menunjukkan dengan jelas kepada kita bagaimana dunia politik saat ini tidak dapat lepas dari pemanfatan media. Termasuk pemanfaatan internet yang berkonvegensi dengan media lama (surat kabar, majalah, TV, radio) dan media jejaring sosial (facebook, twitter, dan lain-lain) yang memiliki dampak yang besar terhadap dinamika dan perkembangan demokrasi dan politik di banyak Negara. Demikian diungkapkan Ir. H. Pramono Anung, MM, Wakil Ketua DPR RI dalam kuliah umum dengan tema “Manajemen Komunikasi Politik di era Konvergensi” di Aula FISIP UNDIP Gedung A lantai 3 yang diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (29/3).
Menurut Pramono Anung, “Teknologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat pesat, tak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan seluruh proses kehidupan, Perubahan informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik”. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology/ICT) telah membawa sejumlah perubahan dalam kehidupan masyarakat dunia.
Sebagai contoh lengsernya presiden Husni Mubarak, berawal dari protes yang bermula dari Twitter dan Facebook. Lebih dari sejuta pemuda, mahasiswa, pengacara, jurnalis, pengusaha, dan politikus kemudian berkumpul di pusat Kota Kairo. Mereka menuntut Presiden Husni Mubarak mundur. Apa yang terjadi di Tahrir merupakan akibat dari pergerakan yang tak terlihat di bawah tanah, sebuah perlawanan dari dunia maya. Para demonstran datang karena ada seruan bersama di Twitter.Juga di Facebook. Ada akun "We are all Khaled Said" yang memiliki fans lebih dari 370 ribu orang. Khaled Said adalah pedagang yang tewas akibat dianiaya polisi tahun lalu. Akun ini menyerukan aksi antipemerintah berkali-kali, hingga berhasil melengserkan Husni Mubarak

Era Konvergensi Media Teknologi informasi mutakhir telah berhasil menggabungkan sifat-sifat teknologi telekomunikasi konvensional yang bersifat massif dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Fenomena ini lazim disebut sebagai konvergensi, yakni bergabungnya media telekomunikasi tradisional dengan internet sekaligus. Konvergensi menyebabkan perubahan radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik visual, audio, data dan sebagainya. Kunci dari konvergensi adalah digitalisasi, karena seluruh bentuk informasi maupun data diubah dari format analog ke format digital sehingga dikirim ke dalam satuan bit (binary digit). Karena informasi yang dikirim merupakan format digital, konvergensi mengarah pada penciptaan produk-produk yang aplikatif yang mampu melakukan fungsi audiovisual sekaligus komputasi.
Sifat alamiah perkembangan teknologi selalu saja mempunyai dua sisi, positif dan negatif. Di samping optimalisasi sisi positif, antisipasi terhadap sisi negatif konvergensi nampaknya perlu dikedepankan sehingga konvergensi teknologi mampu membawa kemaslahatan bersama. Pada aras politik ini diperlukan regulasi yang memadai agar khalayak terlindungi dari dampak buruk konvergensi media. Regulasi menjaga konsekuensi logis dari permainan simbol budaya yang ditampilkan oleh media konvergen. Tujuannya jelas, yakni agar tidak terjadi tabrakan kepentingan yang menjadikan salah satu pihak menjadi dirugikan.
Di era kedigdayaan media massa, politik dan laku politisi menjadi panggung hiburan. Di era ini, politisi lebih suka tampil di media dan membuat sensasi berita. Lebih suka retorika daripada karya, lebih suka fashion ketimbang vision. Televisi tampil sebagai media utama kanal komunikasi elite politik sekaligus kanal gosip politik. Televisi tidak hanya menjadi media talkshow yang kian mencerdaskan. Akan tetapi lewat televisi, pertengkaran dan perkelahian elite politik menjadi drama dan telenovela politik di ruang keluarga.
Oleh karena itu, pada aras politik diversifikasi konvergensi menuntut kebijakan politik yang menjamin adilnya distribusi dan perlindungan konsumen. Pada tingkat ini, diperlukan regulasi yang memadai agar akses konvergensi dapat dinikmati secara relatif merata untuk semua kalangan.

PARADIGMA AKSI-REAKSI
Paradigma aksi-reaksi dapat dianalogikan sebagai hubungan sebab-akibat, bahwasanya suatu aksi dapat memicu timbulnya reaksi tertentu. Adapun reaksi muncul sebagai timbal balik reaksi.
Dalam kajian komunikasi politik, pemikiran aksi-reaksi adalah studi tentang pola-pola aksi dan reaksi antarnegara berdaulat melalui para elit pemerintah. Paradigma aksi reaksi ini identik dengan kegiatan diplomatik dan militer,baik dalam bentuk hubungan kerjasama maupun adanya konflik.
Paradigm aksi-reaksi yang dianut oleh bangsa Indonesia meliputi beberapa tahap. Awalnya, para pembuat kebijakan merumuskan, membuat, dan menetapkan tindakan, berdasarkan masalah yang ada di lapangan. Dalam merumuskan tindakan tersebut, para pembuat kebijakan tidak perlu melakukan pengkajian terhadap masalah yang terjadi di lapangan tersebut. Bahkan masyarakat pun memberikan istilah “Muncul masalah, baru melakukan tindakan”. Beberapa kasus yang terkait dengan istilah tersebut, antara lain: kelangkaan BBM (Bahan Bakar Minyak), proses berlangsungnya Pilkada, demonstrasi, dan masalah ketahanan pangan. Keempat kasus tersebut adalah sebagian kasus yang penanganannya menggunakan paradigma aksi reaksi.
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) memliki peranan yang besar dalam menentukan pengaruh kebijakan terhadap pengembangan negara. Selain itu, peranan Litbang dapat memperkecil terjadinya paradigma aksi-reaksi tersebut. Bahkan beberapa negara maju sangat memberikan perhatian terhadap peranan Litbang dalam membangun negaranya, sehingga mereka tidak sayang dalam mengalokasikan anggaran dana yang sangat besar untuk kegiatan Litbang. Sebaliknya, Litbang di Indonesia hanya mendapatkan alokasi anggaran sebesar 1% dari APBD. Oleh karena tidak mengherankan bila Litbang di Indonesia sulit berkembang jika dibandingkan dengan negara lainnya.
Lembaga Litbang sebenarnya telah menyusun perencanaan terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, bahkan saat mendatang. Tidak hanya itu, Litbang juga sudah menyediakan solusi penanganan dari permasalahan-permasalahan tersebut.. Namun, sekali lagi hasil kajian tersebut sama sekali tidak dilirik oleh pemerintah dan hanya menjadi sampah, serta disimpan dibawah meja saja. Hal inilah yang kemudian menjadikan kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah hanya berefek sesaat sesuai dengan paradigma aksi-reaksi. Misalkan terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa melakukan aksi demo bukan tanpa alasan, bahkan mereka berani membeberkan kelemahan-kelemahan pemerintah yang bisa menghancurkan masa depan bangsa Indonesia. Semenjak ada demo mahasiswa tersebut, pemerintah mulai menunjukkan reaksinya, mulai dari mengintrospeksi dirinya, meminta maaf, bahkan sampai pada tahap bersaha untuk memberikan solusi sebagai jawaban atas protes dari demonstrasi mahasiswa.

2 komentar: