Sabtu, 05 November 2011

(Kelas A POL 3) Kebebasan Pers Sebagai Pilar Demokrasi

PAPER
Kebebasan Pers Sebagai Pilar Demokrasi
“Analisis Mengenai Realita dan Pengimplementasian Kebebasan Pers di Indonesia”
Mata Kuliah Komunikasi Politik
DosenPengampu: Drs. Sobarudin M.A


Description: Description: Logo FISIP baru.jpg


       
DisusunOleh:
Iwan Ismi Febriyanto                                     (105120500111007)
Siti Badriatus Sa’adah                                    (105120500111027)
Yovrista Rizky Dian Hastya                           (105120501111019)
Diana Susilowati                                             (105120507111007)
Nindia Noer Anisyah                                       (105120501111013)

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011



DEMOKRASI DAN KEBEBASAN PERS
REALITA DAN IMPLEMENTASI KEBEBASAN PERS DI INDONESIA



KATA PENGANTAR 

      Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan   dengan limpahan rahmad dan hidayah-Nya, kami penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul ”Demokrasi dan Kebebasan Pers : Realita dan Implementasi Kebebasan Pers di Indonesia”. Penyajian paper ini mengacu pada bagaimana pengaruh demokrasi pada kebebasan Pers di Indonesia dan sejarah-sejarah akan pemberontakan pers pada saat orde baru..
Meskipun kami telah berusaha dengan sekuat tenaga, tetapi mungkin masih terdapat kekurangan-kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam penyajian. Oleh karena itu, kepada pembaca kami memohon maaf dan kerelaannya untuk memberikan kritik dan saran untuk perbaikan. Dan kami berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian paper ini.
Semoga Allah yang maha pengasih dan maha penyayang akan memberi limpahan Rahmad Nya kepada bapak, ibu, saudara sekalian . Amin.
                                                                                                                    



                                                                                   


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................        i
Kata Pengantar................................................................................................    ii
Daftar Isi.........................................................................................................     iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang.....................................................................................        1
BAB II PEMBAHASAN
Pers dan Teori......................................................................................        3
Media Massa .......................................................................................        6
Kebebasan Pers dan perannya dalam sistem demokrasi Indonesia.....         7
1.     Pers awal kemerdekaannya.......................................................          7
2.     Pers pada masa Orde Baru........................................................         9
3.     Pers pada masa era reformasi....................................................       11
BAB III KESIMPULAN...............................................................................       17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................      18










BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Negara merupakan elemen terpenting dalam suatu komunitas masyarakat, peran negara bukan hanya sebagai wadah atau tempat berkumpul komunal masyarakat dalam suatu daerah tertentu. Namun juga sebagai wujud manusia mengaktualisasikan salah satu sifatnya, yaitu zon politicon atau manusia politik. Politik, dalam bahasa yunani berarti policy atau kebijakan. Ketika kita mendengar kata kebijakan, pasti erat kaitannya terhadap suatu keputusan yang kemudian dijadikan sebagai sebuah peraturan yang mengatur hajat hidup orang banyak dalam suatu komunitas tertentu (dalam hal ini negara). Negara mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan hanya terdapat dalam negara saja, yaitu sifat monopoli, memaksa, dan sifat mencakup semua. Didunia ini, seperti yang sama-sama kita ketahui bahwasannya ada banyak sekali macam negara, dan setiap negara itu pasti memiliki sistem maupun bentuk pemerintahan yang berbeda-beda pula yang disesuaikan dengan keadaan atau kondisi geografis negara tersebut. Seperti contohnya, negara kesatuan, negara serikat atau federal, negara dominion, negara protektorat, dan negara uni atau gabungan.
            Indonesia sendiri, adalah salah satu contoh negara yang memiliki bentuk negara kesatuan, yaitu suatu negara yang mempunyai pemerintahan pusat dan pemerintahan lokal atau daerah yang terpencar dan terbagi atas beberapa pulau. Dan seperti yang kita ketahui, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-harinya. Dan dalam hal yang menyangkut tentang negara, tentunya dibutuhkan informasi tentang situasi dan kondisi internal atau suprastruktur dalam suatu negara tersebut kepada msyarakat luas. Apalagi, di Indonesia sendiri, sekarang pemerintah telah menetapkan tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Artinya segala bentuk atau macam kebijakan yang ada dipemerintahan haruslah memliki sisi keterbukaan kepada khalayak umum. Ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memudahkan masyarakat dalam upaya melakukan kontrol terhadap pemerintah agar tidak menyimpang dari nilai-nilai demokrasi yang kita anut. Berbicara tentang demokrasi, tentunya sudah tidak asing lagi kedengarannya bagi kita. Karena memang system politik yang kita anut dari dulu sampai sekarang adalah demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
            Ada beberapa prinsip yang tentunya harus dimiliki oleh suatu negara yang menganut system demokrasi, salah satu diantaranya adalah tentang kebebasan pers sebagai pilar demokrasi. Pers disini adalah berfungsi sebagai upaya kontrol terhadap pemerintah dalam menentukan segala macam kebijakan dan juga sebagai alat transformasi nilai, serta segala bentuk informasi atau isu-isu politik yang ada di lembaga pemerintahan. Ini yang kemudian menarik pemakalah untuk sekedar memberikan gambaran tentang penyelenggaran pers di Indonesia dan juga tentang bagaimana perjalanan ataupun lika-liku pers yang tentunya memiliki sejarah yang amat sangat panjang dalam upaya penengakkan nilai atau prinsip-prinsip demokrasi yang kita anut. Semoga apa yang kami sajikan kedepan nanti dapat bermanfaat bagi kita semua dalam upaya membangun dan merekontsruksi bangsa kita kedepannya untuk menjadi lebih baik lagi.
























BAB II
PEMBAHASAN

            Seperti yang diuraikan pada latar belakang di atas, tentang bagaimana pentingnya transformasi nilai ataupun segala bentuk informasi mengenai kebijakan dari pemerintah sebagai upaya kontrol sosial dari masyarakat umum, kami akan mencoba untuk kemudian menguraikan sedikit gambaran tentang Kebebasan Pers di Indonesia dan bagaimana kondisi atau perjalanannya sejak awal kemerdekaan sampai Era Reformasi yang sedang kita alami sekarang ini. Dan inilah yang termasuk dalam komunikasi politik. Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam praktiknya, komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR.

Pers dan Teorinya
            Seperti yang kita ketahui, manusia selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-harinya. Dan dalam interaksi tersebut, pasti terdapat unsur komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya. Pun demikian halnya dengan hubungan antara masyarakat dan negaranya, komunikasi sangatlah penting sebagai sarana untuk melakukan kontrol maupun transformasi nilai ideologis dari pemerintah ke masyarakat luas. Pers adalah salah satu sarana komunikasi antar manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok lainnya dalam suatu komunitas masyarakat di sebuah negara atau organ-organ kemasyarakatan tertentu. Dalam perspektif demokrasi, pers bisa diartikan sebagai mediator ataupun kontrol terhadap sebuah kebijakan yang akan maupun telah dikeluarkan oleh pihak pemerintah. Ada beberapa teori tentang Pers, yaitu :
-          Otoritarian
1.      Berkembang di Inggris pada abad 16 dan 17, dipakai secara meluas di dunia dan masih dipraktekkan di beberapa tempat sekarang ini.
2.      Teori ini muncul dari filsafat kekuasaan monarki absolut, kekuasaan pemerintahan.
Tujuan utamanya adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa dan mengabdi pada negara.
3.      Pemerintah atau seseorang yang mempunyai kekuasaan dalam kerajaan adalah orang yang berhak mengatur dan menggunakan media untuk kepentingannya.
4.      Media dikontrol melalui paten-paten dari pemerintah, izin dan sensor.
5.      Media massa dilarang untuk melakukan kritik terhadap mekanisme politik, dan para pejabat yang berkuasa.
6.      Media massa dimiliki oleh swasta perorangan atau masyarakat umum.
7.      Media massa dianggap sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, walaupun tidak harus dimiliki oleh pemerintah. Pers di sini dapat dikatakan statusnya sebagai hamba bagi negara.
-          Libertarian
1.      Teori ini berkembang di Inggris setelah tahun 1688, dan kemudian di Amerika Serikat.
2.      Teori ini muncul dari tulisan-tulisan Locke, Milton dan Mill, dan filsafat umum tentang rasionalisme dan hak-hak asasi.
3.      Tujuan utamanya adalah memberi informasi, menghibur dan berjualan, tetapi tujuan utamanya adalah membantu untuk menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah.
4.      Dalam teori ini disebutkan, media massa diatur oleh siapa saja yang mempunyai kemampuan ekonomi untuk menggunakannya.
5.      Media dikontrol dengan proses pelurusan sendiri untuk mendapatkan kebenaran dalam pasar ide yang bebas, serta melalui pengadilan.
6.      Media massa dilarang melakukan penghinaan, kecabulan, kerendahan moral dan pengkhianatan pada masa perang.
7.      Media massa dianggap sebagai alat untuk mengawasi pemerintah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mayarakat lainnya.
-          Tanggung Jawab Sosial
1.      Teori ini berkembang di Amerika Serikat pada abad ke-20
2.      Teori ini terbentuk dari tulisan W.E Hocking, Komisi Kebebasan Pers, para pelaksana media, dan kode-kode etik media massa.
3.      Tujuan utama dari media massa adalah memberi informasi, menghibur dan berjualan, tetapi tujuan utamanya adalah mengangkat konflik sampai tingkatan diskusi.
4.      Teori ini mengatakan bahwa semua orang berhak menggunakannya, dan berhak mengeluarkan pendapatnya.
5.      Media massa dikontrol melalui pendapat masyarakat, tindakan-tindakan konsumen, dan etika-etika kaum profesional.
6.      Media massa dilarang melakukan invasi serius terhadap hak-hak perorangan yang dilindungi dan terhadap kepentingan vital masyarakat.
7.      Kepemilikan media massa dikuasai oleh perorangan, kecuali jika pemerintah harus mengambil demi kelangsungan pelayanan terhadap masyarakat.
8.      Media massa harus menerima tanggungjawabnya terhadap masyarakat; dan kalau tidak, harus ada pihak yang mengusahakan agar media mau menerimanya.
-          Soviet Komunis
1.      Teori ini berkembang di Uni Soviet, walaupun ada kesamaannya dengan yang dilakukan Nazi dan Italia Fasis.
2.      Teori ini terbentuk dari pemikiran Marxis, Leninis, dan Stalinis dengan campuran pikiran Hegel, dan pandangan orang Rusia abad 19.
3.      Tujuan utama dari media massa adalah memberi sumbangan bagi keberhasilan dan kelanjutan dari sistem sosialis Soviet, dan terutama bagi kediktatoran Partai.
4.      Yang berhak menggunakan media massa adalah anggota-anggota partai yang loyal dan ortodoks.
5.      Media massa dikontrol melalui pengawasan dan tindakan politik atau ekonomi oleh pemerintah.
6.      Media massa dilarang melakukan kritik-kritik terhadap tujuan partai yang dibedakan dari taktik-taktik partai.
7.      Kepemilikan media massa adalah masyarakat.
8.      Media massa adalah milik negara dan media yang dikontrol sangat ketat semata-mata merupakan kepanjangan tangan-tangan negara.

Media Massa
            Media massa adalah alat komunikasi yang dipakai didalam suatu tataran masyarakat dalam sebuah komunitas tertentu. Media Massa memiliki cakupan pengertian yang lebih luas dari pada pers. Dalam kamus ilmiah popular, pers hanya diartikan sebagai sarana komunikasi di bidang persuratkabaran, sedangkan media massa lebih kepada semua hal yang menyangkut sarana komunikasi. Media dibutuhkan sebagai sarana transformasi nilai dan juga sarana informasi tentang kondisi dan situasi yang dialami oleh suatu negara. Ada 2 jenis media massa menurut pembagiannya, yaitu Media Massa Tradisional dan Media Massa Modern. Media massa tradisional adalah media massa dengan otoritas dan memiliki organisasi yang jelas sebagai media massa. Secara tradisional media massa digolongkan sebagai berikut: surat kabar, majalah, radio, televisi, film (layar lebar). Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
  1. Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan
  2. Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu.
  3. Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima.
  4. Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit.
Sedangkan Media massa modern adalah media yang tidak memiliki organisasi yang jelas dalam penerapannnya dikehidupan sehari-hari. Artinya media massa modern lebih menekankan kebebasan terhadap individu dalam mengekspresikan dirinya. Contoh dari media massa modern adalah internet dan telepon seluler. Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
  1. Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau internet misalnya).
  2. Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual.
  3. Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada individu.
  4. Komunikasi mengalir (berlangsung) ke dalam.
  5. Penerima yang menentukan waktu interaksi.


Kebebasan Pers dan perannya dalam sistem demokrasi di Indonesia
            Kebebasan Pers adalah adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan penerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Di Indonesia sendiri kebebasan pers telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
            Sebelum kita beranjak lebih jauh tentang kebebasan pers di Indonesia, ada baiknya jika kita lihat kembali bagaimana sejarah perjalanan pers di Indonesia dari awal kemerdekaannya, sampai pada era reformasi sekarang ini.
1.      Pers awal kemerdekaan
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali. Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek sosial ekonomi maupun aspek politisnya. Dalam UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan. Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran, persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar. Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya" telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekomomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan". Selanjutnya, pada jaman pendudukan Jepang., untuk wilayah Jawa dan Madura diterapkan Undang-undang No.16 yang memberlakukan sistem lisensi dan sensor preventif. Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarang penerbitan yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagi dengan menempatkan shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar. Tugas “penasehat” ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor, bahkan adakalanya menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggota redaksi. Sejumlah aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetap dipelihara
oleh pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, terus dipakai dan secara formal baru diganti pada 1954. Mengikuti perkembangan politik, pada 14 September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer, mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan, gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan dan gambar yang dinilai mengandung perenyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan. Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai. Artikelen ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers. Mengikuti penerapan situasi darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus Peristiwa Gerakan 30 september 1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana
Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan ketentuan SIT, SIC, serta ada lagi: Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas tidak akan diberikan kepada media yang dinilai tidak patuh.


2.      Pers pada masa Orde Baru
Aturan yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru—orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen (dalam Soebagijo I.N, Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.
181).
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang
dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya.
Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, kepada pemimpin nasional (Soeharto). Kisah pembredelan di era Soeharto terus berlanjut. Era 1980-an meminta korban antara lain: pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin, dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yang merupakan informasi off the record. Korban berikutnya adalah majalah Expo (Januari 1984) setelah memuat serial tulisan mengenai Seratus Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai telah “melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur manajemen penerbitan pers”.
Dua bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan Miskin (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajiner dengan Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai “cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas”, sedangkan tulisan kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dan tidak mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab.” Bulan Mei 1984, majalah Fokus dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap dapat mempertajam prasangka sosial.
Berikutnya, pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan pembredelanitu terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah Senang, hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor
dan Detik.


3.      Pers pada era Reformasi
Presiden Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa dibendung-- melalui media alternatif dan internet. Selain itu, pers juga tidak lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhir menjelang keruntuhannya, Presiden Soeharto mencoba mengintimidasi pers, dengan menuduh pers "tidak proporsional dan melakukan disinformasi”. Soeharto marah karena pers selalu menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan reformasi di halaman pertama. Biasanya pers Indonesia akan ciut nyalinya jika Soeharto marah, namun situasi memang sedang berubah.
Perubahan pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan wadah tunggal organisasi wartawan.
Pemerintah tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPP—yang menjadi sangat mudah diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei 1998-Agustus 1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengan disahkannya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers pada September 1999. Bandingkan dengan era Soeharto yang cuma mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun kekuasaannya.
Perubahan lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi, Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 40. Memang terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan penerbitan baru.
Tapi ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakan masyarakat (sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnya pernah mencapai 108 partai-- dari semula 3 partai). Para wartawan yang lama terkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum untuk mengaktualisasikan diri. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers. Banyak pengusaha “dadakan” menerbitkan penerbitan pers dengan nama-nama yang aneh atau lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak, Pantura, Amien Pos, Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto: trial by the press) Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satu atau dua bulan, dan berhenti terbit.
Fenomena lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinya media partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang “berafiliasi” dengan partai politik. Media partai itu antara lain Amanat milik Partai Amanat Nasional (PAN), Duta Masyarakat milik Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Demokrat dikelola oleh Partai Demokrasi-Perjuangan (PDI-P), Abadi milik Partai Bulan Bintang (PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai Golkar. Berbeda dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yang murni merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali ini terbit dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok Jawa Pos Grup (Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media parpol itu.
Pers Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman. Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contoh menunjukkan rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers.
Pada bulan Juni 1998, Habibie melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" pada wartawan, dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bias digagalkan, berkat gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi). Habibie juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasi masyarakat. Bulan Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikan secara tiba-tiba, oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar Tanjung, ketika acara sedang disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam mengritik Habibie. Tabloid Detak dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, karena membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27 Juli 1996 (penyerbuan kantor PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jaya atas tulisan tentang keterlibatan militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998. Pemberitaan media yang gencar menyangkut penyadapan percakapan telepon antara Presiden Habibie dengan Jaksa Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkan beberapa pemimpin redaksi diperiksa oleh kepolisian.
Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.
Dengan kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik manajemen di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang
mendirikan Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagian sahamnya diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul ketidaksepahaman dalama manajerial.
            Era kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis). Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember 1999 melaporkan “persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut.
Kebebasan pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai “kelewat batas” dan chaotic. Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaan pada etika pers, khususnya untuk tabloid-tabloid baru, ramai disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang terkesan liar dan tak terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga yang menerbitkan jurnal pengawas media (media watch). Pada saat yang sama pers Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang mampu mengawasi etika pers. Dewan Pers (bentukan pemerintah), yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga pengontrol, tidak bisa berfungsi, karena kehilangan legitimasinya. Untuk merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik bersama—yang menjadi patokan untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu, setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani oleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999.
Sementara itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers yang diperoleh. Sejumlah aktivis, pakar komunikasi, wartawan dan pengurus organisasi pers, pada akhir 1998 membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang kemudian menjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui rangkaian diskusi dan lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers 1999) pada 23 September 1999.
Dalam UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003.

            Setelah mengalami begitu panjang perjalanan dan lika-likunya, pers akhirnya mengalami kebebasan untuk menjalankan fungsinya sebagai salah satu media transformasi nilai dari pemerintah ke masyarakat luas dan juga sebagai sarana kontrol terhadap segala bentuk kebijakan yang akan maupun telah ditetapkan oleh lembaga pemerintahan. Ini sangatlah penting dalam mengimplementasikan nilai demokrasi yang kita anut, karena memang dengan sistem yang idealnya adalah rakyat yang berdiri diatas pemerintahan, maka kebebasan pers sangatlah membantu. Selain itu, pers sangatlah berpengaruh sekali dalam membangun opini maupun wacana publik hari ini. Perannya sangatlah besar dalam mengkonstruk paradigma berpikir masyarakat kita dewasa ini. Namun yang harus menjadi perhatian hari ini adalah ketika netralitas maupun idealisme dari pers mulai dipertanyakan khalayak umum. Bagaimana keadaan media cetak maupun elektronik kita hari ini lebih banyak dikuasai oleh para oknum-oknum yang memang handal dalam melakukan propaganda  membangun wacana ataupun opini publik yang tentunya mempunyai kepentingan sendiri dalam praktik politik di lapangan. Bahkan, seakan-akan yang terjadi sekarang ini adalah upaya dalam penyamaan persepsi terhadap realitas yang terjadi melalui wacana. Realitas dipahami disini sebagai seperangkat konstruk atau bangunan yang dibentuk melalui wacana. Realitas itu sendiri, menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Artinya, kita mempersepsi dan bagaimana kita menafsirkan objek dan peristiwa dalam sistem makna itu tergantung pada struktur diskursifnya.
            Disinilah peran pers sesungguhnya, bagaimana dia bisa mengatur ataupun mengkonstruksi paradigma berpikir masyarakat luas dengan struktur diskursif atau wacana yang dicetaknya. Namun, kita juga bisa mengambil segi positifnya dari kebebasan pers itu sendiri. Yaitu bagaimana kita bisa memperoleh informasi sebanyak-banyaknya dari apa yang kemudian menjadi isu lintas nasional maupun lokal. Dan mengenai benar atau tidaknya berita maupun wacana yang disajikan media, itu semua tergantung dari bagaimana kita menganalisanya secara detail dan kritis dalam pembacaan realitas sosial yang ada. Pers juga dapat berfungsi sebagai alat dalam menstimulasi daya pikir kritis kita terhadap apa yang menjadi realitas sosial disekitar kita.

Aktualisasi Kebebasan Pers di Indonesia
            Kebebasan memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleks ketimbang era tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang di Indonesia, telah ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karena dianggap telah “bebas terlampau jauh”. .Ekses negatif kebebasan pers saat ini terlihat semakin nyata dengan banyak bermunculannya media partisan, sensasional, termasuk yang menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalah munculnya banyak media yang mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurang menghargai etika. Banyak pula muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnis pers: menerbitkan media, dua bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku, kemudian menerbitkan media baru lainnya. Seserius apakah ekses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soal ketika menyangkut pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (seperti kasus Ambon), sebagian media telah memposisikan diri sebagai corong kelompok tertentu. Ada pula media yang diterbitkan semata-mata sebagai alat menyerang atau membela orang-orang tertentu. Namun justru itu lah resiko demokrasi: munculnya sejumlah pers yang buruk. Sebagaimana bertebaran pula gagasan-gagasan buruk. Tantangan di Indonesia kini adalah, pers yang bermutu dituntut untuk mengarahkan dan memperluas pembacanya, justru agar masyarakat tidak membaca media yang buruk. Agar dalam market place of ideas ide-ide baik menang terhadap gagasan buruk.
Setelah halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasil disingkirkan, maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas. Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan dan memunculkan ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas. Sayangnya, ditengah kegandrungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini, hukum belum siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kejengkelan akan kebebasan. Situasi itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa mengatur atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, kontrol masyarakat, seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal akan terus terjadi.











BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
            Setelah melihat tentang bagaimana bahasan teoritis maupun empiris yang telah kami sajikan diatas, maka bisa kita tarik kesimpulan bahwasannya pers memang merupakan pilar penting dalam upaya menjalankan sistem demokrasi di Indonesia yang ideal. Karena memang dalam sistem yang mengatasnamakan rakyat diatas segalanya, peran pers sangatlah besar dalam upaya kontrol sekaligus media transformasi nilai dan juga informasi dari kebijakan yang akan maupun telah ditetapkan oleh lembaga pemerintahan. Artinya, ini juga merupakan langkah untuk kemudian menumbuhkan daya pikir kritis masyarakat terhadap fenomena sosial yang ada. Namun, kebebasan pers juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sistem keterbukaan antara pemerintah dan masyarakat. Karena, selain fungsi awalnya untuk mengabarkan realitas yang terjadi di lingkup masyarakat maupun pemerintahan, pers dengan wacananya juga dapat menjadi alat bagi sebagian oknum untuk melanggengkan kekuasaan mapun juga bisa sebagai alat untuk mendiskreditkan suatu pihak. Maka dari itu, penting bagi kita untuk melakukan analisis ulang terhadap apa yang menjadi isu maupun wacana yang dibentuk oleh pers dan mencoba membandingkan antara berita atau wacana yang satu dengan yang lainnya.









DAFTAR PUSTAKA


-          Eriyanto.2000.Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Jakarta: LKIS.
-          Kaelola, Akbar.2009.Kamus Istilah Politik Kontemporer.Yogyakarta: Cakrawala.
-          Ahmad,Maulana. 2008.Kamus Ilmiah Populer.
-          Panduan Jurnalistik Praktis: Mendalami Penulisan Berita dan Feature, Memahami Etika dan Hukum Pers. Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS). 2009.
-          www.wikipedia.sejarah-pers-di-indonesia.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar