Sabtu, 05 November 2011

KHALAYAK POLITIK (A-IK-5)

"Khalayak Politik"

Disusun Oleh:
Branti Nurghida 0911223063
Nirinta Kinanti 0911223101
Benedicta Ika E. 0911220063
Novira Kharisma 0911220046


A. Pengertian Khalayak dan Tipe-tipe Khalayak dalam Komunikasi Politik
Dalam bahasa Indonesia secara umum yang disebut khalayak adalah
1. Segala yang diciptakan oleh Tuhan (makhluk).
2. Kelompok tertentu dalam masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi.
3. Orang banyak atau masyarakat.
Menurut pengertian yang dipakai secara umum dalam komunikasi, pihak yang menjadi tujuan disampaikannya sesuatu pesan disebut sebagai penerima (receiver), atau khalayak (audience), atau komunikan. Akan tetapi hal yang perlu diketahui bahwa khalayak sebenarnya hanyalah suatu peran yang sementara sifatnya. Sebab ketika pada giliran berikutnya, penerima pesan akan memprakarsai penyampaian suatu pesan berikutnya, maka pada saat itulah sebenarnya pihak yang pada hubungan sebelumnya disebut sebagai khalayak itu telah berubah peran menjadi komunikator.
Pengertian yang sama berlaku pula dalam komunikasi politik. Pihak yang tadinya berperan sebagai komunikator, atau sebagai saluran, pada saat yang lain dapat pula diidentifikasikan sebagai penerima pesan-pesan politik. Tergantung kepada situasi yang berlangsung. Akan tetapi pada arti yang umum dan pada intinya khalayak adalah masyarakat yang luas dan seringkali disebut juga dengan publik.
Dalam lapisan khalayak pada komunikasi politik, Hennesy (dalam Nasution 1990), membedakan public menjadi 3, yaitu :
a. Publik umum (general public)
b. Publik yang penuh perhatian (the attentive public)
c. Elit opini dan kebijakan (the leadership public).
Di antara ketiga lapisan tersebut, elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan. Lapisan ini seringkali menjadi pelaku politik. Sedangkan publik attentive merupakan khalayak yang menaruh perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik. Publik umum terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan.
Publik yang attentive, disebut juga lapisan yang penuh perhatian, merupakan sub-kultur yang khusus dimana kelompok-kelompok kepentingan yang merasa berkepentingan dengan masalah kebijakan umum ketimbang dengan kepentingan khusus. Khalayak yang berperhatian terhadap perkembangan yang berlangsung yang menyangkut kepemerintahan dan politik, merupakan suatu faktor yang amat diperlukan bagi terlaksananya sistem politik yang sehat. Mereka itulah lapisan masyarakat yang mau tahu dan menaruh perhatian pada pekembangan keadaan negaranya.
Publik attentive menempati posisi penting dalam proses opini. Pentingnya posisi tersebut menurut Nimmo (1978) didasarkan pada kenyataan, yaitu :
1. Lapisan publik inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi antar pribadi dalam arus pesan timbal balik antara pemimpin politik dengan publik umum. Publik attentive merupakan khalayak utama (key audience) dalam komunikasi politik.
2. Publik attentive menyertai para pemimpin politik sebagai pembawa konsensus politik. Yakni orang-orang yang digambarkan dalam bagian terakhir yang besar kemungkinannya daripada orang lain menunjang aplikasi spesifik aturan dan nilai-nilai umum demokrasi.
3. Publik attentive membentuk surrogate electorate atau pemilih bayangan dalam periode antara masa pemilihan. Para politisi biasanya mempersepsikan gelombang arus opini di kalangan publik attentive sebagai representasi dari apa yang diyakini, dinilai, dan diharapkan oleh publik umum (yang kurang berperhatian kepada politik semasa periode di antara dua pemilu). Dengan kata lain, khalayak yang mempunyai perhatian itu merupakan lapisan masyarakat yang berkemauan untuk mengikuti dalam perkembangan politik yang berlangsung.

Tipe-Tipe Khalayak
Dalam pandangan teori komunikasi massa, khalayak dibedakan menjadi dua tipe. Yaitu khalayak pasif dan khalayak akif. Pada pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media. Sedangkan pandangan khalayak pasif menyatakan bahwa khalayak dipengaruhi oleh arus langsung dari media. Dalam komunikasi massa, khalayak disebut aktif karena dapat memilih dan mengambil keputusan sesuai kehendaknya masing-masing dalam penggunaam media apa dan media mana yang diinginkannya. Misalnya dalam memilih program siaran apa yang ingin dilihat sesuai dengan keinginannya. Khalayak atau orang yang senang dengan hal-hal olahraga, pasti dia akan lebih sering melihat atau mengikuti acara-acara olahraga atau sport di televisinya. Bahkan mereka dapat berlangganan dengan menggunakan tv kabel. Begitu juga untuk mendapatkan hiburan atau untuk mendapatkan informasi mengenai hasil dan ulasan-ulasan berita olahraga dan sebagainya, juga tersedia surat kabar atau majalah yang khusus untuk topik olahraga, tabloid bola atau soccer misalnya. Mereka dapat memilih sesuai dengan keinginan mereka, karena dengan adanya spesifikasi pada media saat ini akan membuat khalayak lebih mudah dalam mendapatkan berita olahraga atau yang lain dengan selengkap-lengkapnya daripada media lainnya.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998) ditemukan beberapa tipologi dari khalayak aktif :
• .Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Mereka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu.
• Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki.
• Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media.
• Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media.
• Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
Khalayak yang lebih terdidik (educated people) cenderung menjadi bagian dari khalayak aktif, karena mereka lebih bisa memilih media yang mereka konsumsi sesuai kebutuhan mereka dibandingkan khalayak yang tidak terdidik.
Sedangkan khalayak dianggap pasif dalam menerima pesan yang ada pada media massa. Karena pada media massa, proses komunikasi bersifat satu arah. Khalayak tidak dapat memberikan feedback secara langsung. Dalam media massa, khalayak tidak dapat mengubah isi pesan yang ada pada media tersebut secara langsung. Khalayak hanya dapat menggunakan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh media, misalnya surat pembaca, pada surat kabar atau koran, hanya sebagai respon. Itupun tidak akan langsung ditanggapi oleh pihak yang bersangkutan. Baru beberapa hari kemudian dimuat di surat khabar tersebut dengan ralat-ralat yang seharusnya. Itulah mengapa dalam komunikasi massa, khalayak dianggap pasif. Karena mereka hanya dapat memperikan respon pada media, bukan feedback secara langsung. Feedbacknya bersifat tertunda.

B. Kebutuhan Informasi
Di era globalisasi informasi merupakan kebutuhan pokok bagi penggunanya sehingga jika kebutuhan informasi tidak terpenuhi akan menimbulkan masalah bagi pengguna informasi. Informasi bert Menurut Wilson, kebutuhan informasi adalah sebuah pengalaman subyektif yang hanya terjadi pada pikiran orang yang sedang dalam kondisi membutuhkan dan tidak bisa secara langsung diakses oleh para pengamat (1997: 552) tujuan untuk menambah ilmu pengetahuan, memperluas jaringan, dan meningkatkan keterampilan yang mempengaruhi serta merubah sikap, perilaku, dan pola pikir seseorang.
Pengguna informasi membutuhkan informasi yang cepat, tepat, akurat, relevan, dan mudah mendapatkannya. Saat ini pengguna informasi mengalami beberapa permasalahan, seperti banjir informasi, adanya informasi yang cenderung asal-asalan atau tidak terjamin keakuratannya, informasi yang disajikan tidak sesuai, isi dari informasi yang diberikan kurang tepat, jenis informasi kurang relevan,. Permasalahan tersebut terjadi disekitar kita dan ini menjadi sebuah tantangan bagi penyedia informasi.
Kebutuhan informasi bagi setiap pengguna informasi berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Kebutuhan informasi bagi para pengguna dapat diketahui dengan cara melakukan identifikasi kebutuhan dari para pengguna informasi.
Secara lebih spesifik, Saracevic et al. (1988) menyatakan bahwa penelitian tentang kebutuhan informasi harus memperhatikan faktor berikut:
1. Persepsi seseorang tentang masalah yang sedang ia hadapi.
Jika kita ingin meneliti kebutuhan informasi, sebaiknya kita juga meneliti bagaimana para responden melihat (mempersepsi) hal-hal yang berkait dengan kebutuhannya. Apakah responden menganggap pergi ke Jakarta itu sebagai tantangan? Atau malah sebagai beban? Misalnya, dengan menggunakan contoh kota Jakarta, kebutuhan informasi jelaslah muncul karena seseorang tiba-tiba harus ke Jakarta karena tugas kantornya.
2. Rencana seseorang dalam menggunakan informasi.
Ketika seseorang membutuhkan informasi, sedikit banyak ia juga telah memiliki persiapan tentang kegunaan informasi itu. Misalnya, seseorang yang punya kebutuhan informasi jalan dan alamat di Jakarta mungkin sudah punya rencana belanja dan cari makanan khasnya.
3. Kondisi pengetahuan seseorang yang relevan dengan kebutuhannya.
Ini merupakan unsur penting karena dari sini kita bisa melihat seberapa besar pengetahuan yang dimilikinya. Misalnya, apa yang sudah diketahuinya tentang Jakarta dan apa yang belum diketahuinya. Pendapat dan ilmu pengetahuan yang dimiliki setiap orang tentu berbeda-beda. Kalau ada beberapa orang yang akan pergi ke Jakarta, dan beberapa orang itu sama-sama membutuhkan peta Jakarta, dapat dipastikan bahwa mereka tidak cuma membutuhkan satu jenis peta, sebab mungkin saja ada yang sudah pernah ke Jakarta dan ada yang belum pernah.
4. Dugaan seseorang tentang ketersediaan informasi yang dibutuhkannya.
Seseorang selalu punya bayangan tentang sumber informasi yang tersedia di sekitarnya. Seorang mahasiswa yang akan pergi ke Jakarta punya bayangan berbeda dari seorang ibu rumahtangga yang akan pergi ke kota sama. Jika keduanya membutuhkan informasi, maka keduanya tahu dimana mereka bisa mendapatkan informasi tersebut. Mungkin saja keduanya membuka Google, atau mungkin saja si Ibu lebih tanggap.
Informasi yang tersedia harus sesuai dengan kebutuhan pengguna agar pesan yang disampaikan dapat terealisasikan dengan baik. Informasi yang sesuai dengan kebutuhan pengguna akan tergantung pada keberhasilan dalam melakukan identifikasi kebutuhan informasi. Identifikasi kebutuhan informasi yang tidak tepat sudah pasti menghasilkan informasi yang tidak berguna.
Identifikasi kebutuhan informasi adalah sebuah proses untuk mendapatkan informasi yang sesuai kebutuhan dan diinginkan pengguna. Dalam proses identifikasi kedua belah pihak terlibat aktif pada tahap ini. Informasi yang diperoleh dari pengguna menjadi acuan bagi penyedia informasi sebagai bahan pertimbangan menyediakan informasi yang tepat. Tiga faktor yang harus dipenuhi ketika melakukan identifikasi kebutuhan informasi yaitu lengkap, detail, dan benar. Lengkap, artinya mendapatkan dan mengumpulkan informasi yang dibutuhkan para pengguna informasi untuk mengide. Detail, adalah informasi yang terkumpul terinci sampai hal-hal yang kecil. Benar, yaitu semua data yang diperoleh harus benar, sesuai dengan apa yang dimaksud pengguna.


C. Pembentukan Persepsi Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam Negara. Faktor-faktor yang bisa menjadi penghambat demokrasi yang sehat adalah faktor kemiskinan dan kebodohan politik masyarakat itu sendiri. Para politisi serta para pejabat yang memiliki kekuasaan dalam Negara seharusnya memberikan pendidikan politik yang cerdas kepada masyarakat agar kesadaran berdemokrasi dalam hal politik semakin tinggi dari berbagai kalangan dan pandangan masyarakat terhadap politik menjadi kompleks atau luas.
Kesadaran berdemokrasi tersebut akan tinggi bila partisipasi dari masyarakat dalam memberikan haknya juga tinggi. Kesadaran seseorang untuk berpartisipasi dan mempersepsi secara positif dalam sistem politik yang ada, jika seseorang bisa beradaptasi dengan lingkungan. Contohnya, jika seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan masyarakat yang feodal atau tidak demokratis.
Kesenjangan tersebut mungkin akan menimbulkan kesengsaraan atau keprihatinan dalam dirinya, dan mungkin sikap tersebut tidak akan diperlihatkan kepada orang lain. Sikap yang kedua mungkin dia akan berupaya untuk mengubah kondisi yang tidak demokratis tersebut, namun hal tersebut akan terasa sulit apabila dihadapkan kepada perilaku masyarakat yang sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. Kondisi tersebut mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam setiap perhelatan demokrasi. Dalam kondisi seperti itu, perlu ada ruang pendidikan politik yang cerdas agar masyarakat terhindar dari unsur-unsur yang dapat menghambat partisipasi mereka. Sosialisasi politik mungkin jawabannya, sehingga memberikan rangsangan politik. Bagaimana seseorang itu bisa beradaptasi dalam lingkungan tersebut sudah terbentuk dari kebiasaan dalam lingkungan politik yang demokratis. Persepsi politik yang terbentuk dari seseorang tersebut yaitu politik yang demokratis.

D. Proses Pembentukan Sikap Politik
Keadaan politik di Indonesia tidak seperti yang diinginkan, banyak rakyat beranggapan bahwa politik di Indonesia merupakan sesuatu yang hanya mementingkan dan merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Pemerintah Indonesia pun tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian rakyat yang mengeluh, karena hidup mereka belum dapat disejahterakan oleh negara. Pandangan masyarakat terhadap politik itu sendiri menjadi buruk, dikarenakan pemerintah Indonesia yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat dengan baik, bagi mereka politik hanyalah sesuatu yang buruk dalam mencapai kekuasaan. Rakyat Indonesia belum merasakan kinerja yang baik dari pemerintah Indonesia, hal itu hanya membuat mereka memandang buruk terhadap politik itu sendiri. Selain itu, para generasi muda kini akan diperkenalkan dengan politik yang sebenarnya, agar mereka dapat menjadi generasi baru yang lebih bertanggung jawab.
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpin politik dan lain-lain.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
Dalam masyarakat, peran media massa membentuk citra politikus dan mendukung kegiatan dalam komunikasi politik secara mekanistis, politikus dan aktivis disebut sebagai komunikator politik oleh Dan Nimmo (1999:30-37). Politikus adalah pekerja politik yang melakukan aktifitas politik, baik di dalam pemerintahan maupun di luar atau di dalam parlemen. Sedangkan aktivis adalah para pemimpin organisasi masyarakat yang memiliki perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan politik. Politikus dan aktivis harus melakukan komunikasi politik untuk memperoleh dukungan massa atau pendapat umum.
Media massa di negara demokrasi dan negara otoriter memiliki perbedaan, di Negara otoriter media massa digunakan pemerintah sebagai alat politik untuk mengendalikan opini rakyatnya, hal ini sebagaimana dapat di lihat pada negara unisoviet serta keberlangsungan media massa tergantung kebijakan yang ada pada pemerintah. Sedangkan di negara demokrasi peran media massa lebih luas karena memiliki kepribadian sendiri berdasarkan latar belakang redaktur dan wartawan yang melakuan peliputan berita, sehingga hal ini bagaikan koin yang tidak dapat dipisahkan. Di satu pihak media massa dapat mendukung program pemerintah, di lain pihak dapat menimbulkan opini publik yang dapat menghambat program pemerintah. Dalam hal ini pejabat atau pemerintah dapat memanfaatkan media massa sebagai alat politik untuk menimbulkan opini baru di masyarakat sehingga kepentingan pemerintahdapat berjalan dengan baik atau pejabat dapat memanfaatkan pemberitaan di media massa untuk memperoleh dukungan publik. Pada penyusunan berita kadang media massa lebih mengedepankan kepentingan profitnya yakni dengan memberitakan peristiwa di luar fakta yang terjadi sehinggamenimbulkan spekulasi baru di masyarakat. Sehingga perlu adanya koordinasi antara narasumber dengan pencari berita sehingga tidak menimbulkan persepsi baru yang akan merugikan berbagai pihak.
Peranan media massa juga mendukung kegiatan komunikasi politik yaitu bentuk komunikasi politik sangat terkait dengan perilaku politikus atau aktivis politik untuk mencapai tujuan politiknya. Teknik komunikasi yang digunakan untuk mencapai dukungan legitimasi (otoritas sosial) meliputi tiga level, yaitu pengetahuan, sikap, dan perilaku khalayak. Kegiatan komunikasi politik meliputi juga upaya untuk mencari, mempertahankan, danmeningkatkan dukungan politik. Media massa juga berperan membentuk citra politikus dan kegiatan komunikasi politik. Dengan demikian disimpulkan bahwa media massa sangat mendukung kegiatan komunikasi politik. Hal ini berkaitan dengan fungsi komunikasi massa menurut Wilbur Schramm menyatakan, komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter, dan encoder.
Komunikasi massa mengkode lingkungan sekitar untuk kita, mengawasi kemungkinan timbulnya bahaya, mengawasi terjadinya persetujuan dan efek hiburan. Komunikasi massa mengintrepetasikan hal-hal yang dikode sehingga dapat mengambil kebijakan terhadap effek,menjaga berlangsungnya interaksi, serta membantu masyarakat menikmati kehidupan. Komunikasi massa juga mengkode pesan-pesan yang memelihara hubungan kita dengan masyarakat lain serta menyampaikan kebudayaan baru kepada masyarakat.
Adapun fungsi pokok media massa itu sendiri dalam komunikasi politik, yaitu :
1. Retorika Politik
Retorika adalah komunikasi yang bersifat dua arah atau dialogis, yaitu antara satu dengan yang lain. Atau satu orang berbicara kepada satu orang atau beberapa orang, untuk saling mempengaruh dan timbal balik (dua arah). Dale Carnage mengatakan “we are judged each day by our speech” yang artinya setiap hari kita dihakimi oleh perkataan kita sendiri. Cara bicara mengungkapkan apakah anda orang terpelajar atau tidak.
2. Agitasi Politik
Agitasi berasal dari bahasa Latin yaitu agitare (bergerak, menggerakkan). Menurut HerbertBlumer (1969) agitasi adalah beroperasi untuk membangkitkan rakyat pada gerakan tertentu terutama gerakan politik. Dengan kata lain, agitasi adalah upaya untuk menggerakkan massa dengan lisan atau tulisan, dengan cara merangsang dan membangkitkan emosi khalayak. Orang yang melakukan agitasi itu dinamakan agitator. Napheus Smith menyebut agitator sebagai orang yang berusaha menimbulkan ketidakpuasan, kegelisahan, atau pemberontakan orang lain. Dengan demikian, agitasi bersifat negatif karena sifatnya yang menghasut, mengancam, menggelisahkan, membangkitkan rasa tidak puas khalayak, dan mendorong adanya pemberontakan.
3. Propaganda Politik
Propaganda berasal dari kata latin propagare (menyemai tunas tanaman). Propagandis adalah orang yang melaksanakan kegiatan propaganda, yang mampu menjangkau khalayak kolektif yang lebih besar. Propagandis merupakan politikus atau kader partai politik yang memiliki kemampuan dalam melakukan sugesti kepada khalayak dan menciptakan suasana yang mudahterkena sugesti (suggistible). Propaganda menurut para ahli:
1. Lenin, propaganda yaitu mengemukakan banyak gagasan atau pikiran secara mendalamkepada sedikit orang. Propaganda dilakukan dalam bentuk pendidikan di kelas atau ceramah-ceramah yang jumlah khalayaknya sangat terbatas dan terpilih.
2. Leonard W. Dobb (1966), dipahami sebagai individu atau kelompok yang berkepentingan mengontrol sikap kelompok individu lain dengan menggunakan sugesti.
3. Harbert Blumer (1969) propaganda dianggap sebagai kampanye politik yang dengan sengaja mengajak dan membimbing untuk mempengaruhi/membujuk orang guna menerima pandangan, sentimen, atau nilai tertentu.
4. Jacques Ellul (1965) membagi propaganda ke dalam dua tipe, yaitu:
a. Propaganda politik adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, partai politik (strategis atau taktis) dengan pesan-pesan yang khas yang lebih berjangka pendek.
b. Propaganda sosiologis biasanya kurang kentara dan lebih berjangka panjang, dengan pesan-pesan cara hidup, yang selanjutnya akan mempengaruhi lembaga-lembaga sosial, ekonomi, dan politik.
5. Doob (1966) membedakan:
a. Propaganda Tersembunyi terjadi jika propagandis menyelubungi (membungkus) tujuan-tujuannya ketika berbicara.
b. Propaganda Terang-terangan menyingkap tujuan politiknya tatkala berusaha memperoleh dukungan suara.
c. Propaganda Disengaja adalah propaganda yang memang dipersiapkan dengancermat untuk memperoleh dukungan politik.
d. Propaganda Tidak Disengaja adalah propaganda yang terjadi secara spontan, dalamsuasana atau kondisi yang tidak direncanakan sebelumnya.
6. Ellul (1965) juga membedakan antara propaganda vertikal dan propaganda horizontal.
4. Public Relations
Secara umum public relations dipahami sebagai usaha atau kegiatan atau badan atau organisasi untuk menciptakan dan menjaga hubungan yang harmonis dan menguntungkandengan golongan-golongan tertentu atau masyarakat, guna mendapat dukungan dan penghargaan. Hartono (1966:45) menguraikan bahwa public relations adalah fungsi manajemen dengan tugas melakukan penelitian terhadap pendapat, keinginan dan sikap publik, melakukan usaha-usaha penerangan dan hubungan-hubungan untuk mencapai saling pengertian, kepercayaan, dukungan, dan integrasi dengan publik. Public relations politik dilakukan baik di dalam partai politik (internal public) maupun diluar partai politik (external public) seperti masyarakat luas. Kegiatan yang bersifat internal adalah: mengadakan analisis terhadap kebijakan partai politik yang sudah maupun sedang berjalan, dan mengadakan perbaikan sebagai kelanjutan analisis yang dilakukan terhadap kebijaksanaan partai politik, baik yang sedang bejalan maupun tcrhadap perencanaan kebijakan baru.
5. Pola Tindakan Politik
Sesungguhnya lobi politik, retorika politik, dan kampanye politik merupakan peristiwa- peristiwa politik yang dapat diamati dari waktu ke waktu, yang dalam waktu lama membentuk pola. Dengan demikian, lobi politik, retorika politik, dan kampanye politik, dapat disebut sebagai tindakan politik. Tindakan politik dalam peristiwa komunikasi politik bertujuan membentuk citra (image) politik bagi khalayak (masyarakat), yaitu gambaran tentang realitas politik yang memiliki makna.Secara umum citra adalah peta seseorang tentang realitas. Citra merupakan gambaran tentangrealitas, kendatipun tidak harus selalu sesuai dengan realitas yang sesungguhnya, citra adalah duniamenurut persepsi kita. pada dasarnya citra politik terbentuk berdasarkan informasi (verbal dan nonverbal) yang kita terima baik langsung maupun melalui media politik termasuk media massa yang bekerja untuk menyampaikan pesan politik.
Proses pembentukan sikap politik secara tidak langsung meliputi metode belajar berikut:
1. Pengoperasian Interpersonal
Mengasumsikan bahwa anak mengalami proses ini secara eksplisit dalam keadaan sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam hubungan-hubungan dan pemuasan-pemuasan interpersonal.
2. Magang
Metode belajar magang ini terjadi karena perilaku dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dalam situasi-situasi non politik memberikan keahlian-keahlian dan nilai-nilai yang pada saatnya dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang lebih bersifat politik.
3. Generalisasi
Terjadi karena nilai-nilai sosial diperlakukan bagi objek-objek politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu.
Proses pembentukan sikap politik secara langsung terjadi melalui:
1. Imitasi
Merupakan mode pembentukan sikap yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak sadar.
2. Sosialisasi Politik Antisipatoris
Dilakukan untuk mengantisipasi peranan-peranan politik yang diinginkan oleh aktor. Orang yang berharap suatu ketika menjalani pekerjaan-pekerjaan profesional atau posisi sosial yang tinggi biasanya sejak dini sudah mulai mengoper nilai-nilai dan pola-pola perilaku yang berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.
3. Pendidikan Politik
Inisiatif mengoper orientasi-orientasi politik dilakukan oleh “socialiers” daripada oleh individu yang di sosialisasi. Pendidikan politik dapat dilakukan di keluarga, sekolah, lembaga-lembaga politik atau pemerintah dan berbagai kelompok dan organisasi yang tidak terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting bagi kelestarian suatu system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan informasi minimaltentang hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat memasuki arena kehidupan politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus memperoleh pengetahuan mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi oleh pemerintah dan jika hal ini terjadi, stabilitas politik pemerintahan dapat terpelihara.
4. Pengalaman Politik
Kebanyakan dari apa yang oleh seseorang diketahui dan diyakini sebagai politik pada kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan dan pengalaman-pengalaman khalayak di dalam proses politik.

E. Keputusan Pemilihan

Dalam khalayak politik terdapat keputusan untuk memilih pemimpin yang pantas. Setiap opini merefleksikan organisasi yang kompleks yang terdiri atas tiga komponen : kepercayaan, nilai dan pengharapan. Proses pemilihan ini merupakan hubungan atau kaitan antara kepercayaan, nilai dan usul (harapan) yang dikemukakan oleh perseorangan di depan umum dengan kebijakan yang dibuat oleh pejabat terpilih dalam mengatur perbuatan sosial dalam situasi konflik, yaitu dalam politik.
Keputusan pemilihan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh khalayak politik secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas tercapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik, perbantahan dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. Sehingga dapat diputuskan suatu pemilihan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan agar sesuai keinginan khalayak politik.
Menurut Dan Nimmo (1999) karakteristik percakapan politik yang terjadi dalam lobi politik, antara lain adalah koorientasi, yaitu orang saling bertukar pandangan tentang suatu masalah. Dalam pertukaran pandangan itu diperlukan kemampuan negosiasi karena pesan yang dipersoalkan itu memiliki dimensi isi maupun dimensi hubungan yang memerlukan kesepakatan.
Dalam lobi politik itu pengaruh pribadi sangat penting. Dalam hal ini kompetensi, penguasaan masalah, jabatan, dan kepribadian (kharisma) politikus sangat berpengaruh. Lobi politik merupakan gelanggang terpenting pembicaraan para politikus atau kader partai politik tentang kekuasaan, pengaruh, otoritas, konflik, dan konsensus. Tidak salah jika para pakar seperti Laswell dan Kaplan menyebut bahwa pembicaraan dibelakang layar para politik itulebih memberi gambaran tentang kondisi politik yang sesungguhnya, ketimbang yang dikatakan melalui media.
Dalam kehidupan masyarakat contoh nyata adalah pemilihan yang golput ketika telah diadakannya realisasi nyata dalam berkampanye atau keseharian. Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau organisasi politik dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat.
Kampanye politik merupakan kegiatan yang bersifat formal dalam perebutan jabatan- jabatan politik tertentu. Dalam kampanye politik, biasanya semua bentuk komunikasi politik dikembangkan seperti agitasi politik, propaganda politik, public relations politik, dan retorika politik. Namun, dapat diingat pula bahwa di Negara demokrasi termasuk Indonesia penggunaan agitasi politik dan propaganda politik yang mengabaikan nilai-nilai kebenaran, etika, dan moral harus ditinggalkan. Jadi, sikap golput dalam pemilihan tidak diperkenankan sebagai warga Negara yang baik dan menganut sikap politik yang demokratis dan bijaksana.

F. Keputusan Politik dan Kebijakan Publik
Keputusan Politik
Keputusan politik ialah keputusan yang mengikat, menyangkut dan mempengaruhi masyarakat umum.
Hal-hal yang menyangkut dan mempengaruhi masyarakat umum biasanya diurus dan diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Oleh karena itu, keputusan politik dapat pula dipahami sebagai pilihan yang terbaik dari berbagai alternatif mengenai urusan-urusan yang menjadi kewenangan pemerintah.
Menurut Ramlan Surbakti, alternatif keputusan politik secara umum dibagi menjadi dua, yaitu:
-program-program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat-negara (kebijakan publik), dan
-orang-orang yang akan menyelenggarakan kebijakan publik (penjabat pemerintah).
Unsur-unsur Proses Pembuatan Keputusan Politik
-Jumlah orang yang ikut mengambil keputusan;
-Formula atau mekanisme pengambilan keputusan (mufakat atau suara terbanyak), dan
-Informasi.
Pembuat Keputusan Politik
-Para sarjana ilmu politik biasanya mengajukan tiga kemungkinan elit politik yang membuat keputusan politik, yaitu:
-elit formal, ialah elit politik yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat keputusan
-orang yang berpengaruh, ialah orang-orang yang karena memiliki sumber-sumber kekuasaan, seperti kekayaan, ilmu pengetahuan dan tekhnologi, senjata, dan massa terorganisasi yang mampu mempengaruhi elit formal.
-Penguasa, ialah orang yang secara nyata membuat keputusan. Elit formal atau orang berpengaruh dapat menjadi penguasa.
Analisis Siapa Sebagai Penguasa
Menurut Robert Putnam ada tiga macam analisis:
-Analisis posisi, ialah suatu metode untuk mengetahui pembuat keputusan atau penguasa dengan cara melihat kedudukan seseorang dalam lembaga pemerintahan.
-Analisis reputasi, ialah metode yang digunakan untuk mengetahui pembuat keputusan dengan cara memperhatikan reputasi seseorang dalam lingkungan pemerintahan.
-Analisis keputusan, ialah metode untuk mengetahui elit politik dengan cara meneliti siapa yang ikut dalam proses pembuatan keputusan dalam beberapa kasus pengambilan keputusan yang dianggap representatif.
Kebijakan Publik (Public Policy)
-Robert Eyestone (dalam Winarno, 2002: 15) mendefiniskan kebijakan publik ( public policy ) sebagai hubungan suatu unit Pemerintah dengan lingkungannya.
-Thomas R. Dye ( ibid ) mendefinisikan kebijakan publik ( public policy ) sebagai apapun yang dipilih oleh Pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
-Kebijakan publik ( public policies ) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, yang diformulasikan di dalam bidang-bidang isu.
Tipe Kebijakan Publik
Menurut Theodore Lowi, ada 4 tipe kebijakan publik:
-Kebijakan regulatif;
Disebut kebijakan regulatif apabila kebijakan mengandung paksaan dan akan diterapkan secara langsung terhadap individu.
Contoh: UU Hukum Pidana, UU antimonopoli, dan berbagai ketentuan menyangkut keselamatan umum.
-Kebijakan redistributif;
Kebijakan redistributif ditandai dg adanya paksaan secara langsung kepada warga negara tetapi penerapannya melalui lingkungan. Pengenaan pajak progresif kepada sejumlah orang utk memberikan manfaat kpd orang lain melalui berbagai program pemerintah merupakan inti kebijakan redistributif.
Contoh: hasil penerapan uu pajak yg digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum seperti jalan, jembatan, sekolah, dll.
-Kebijakan distributif;
Kebijakan distributif ditandai dengan pengenaan paksaan secara tdk langsung, tetapi kebijakan itu diterapkan secara langsung terhadap individu. Individu dpt menarik manfaat dari kebijakan itu, walaupun tdk dikenakan paksaan kepada individu utk menggunakannya.
Kebijakan distributif=penggunaan anggaran belanja negara atau daerah utk memberikan manfaat scr langsung kpd individu, seperti pendidikan dasar yg bebas biaya, subsidi BBM, pemberian hak paten, dll.
-Kebijakan konstituen.
Ditandai dg kemungkinan pengenaan paksaan fisik yg sangat jauh, dan penerapan kebijakan itu scr tdk langsung melalui lingkungan.
Kebijakan konstituen-> dua lingkup bidang garapan, yaitu: (1) urusan keamanan nasional dan luar negeri; (2) berbagai dinas pelayanan administrasi.
Tahap-tahap Kebijakan
-Politisasi suatu permasalahan (penyusunan agenda);
-Perumusan dan pengesahan tujuan dan program;
-Pelaksanaan program;
-Monitoring dan evaluasi pelaksanaan program.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar