Sabtu, 05 November 2011

Signifikasi etik dan normatik (A-IK-5)

KOMUNIKASI POLITIK
“Signifikasi Etik dan Normatik”




Oleh :

Arya Dipta Harsa A. (0811220061)
Dedhy B. Trunoyudho (0811223014)
Haris Karismanda (0811223104)
Marchiando Wicaksono P. (0811220112)
Meisa Holidi (0811223039)







DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2011


Permasalahan Peradaban dan Budaya Komunikasi
Berbicara mengenai komunikasi yang terjadi di kalangan elit politik dan hubungannya dengan perubahan hukum di Indonesia sangatlah erat. Bisa dikatakan sebagai dua sisi uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Apabila menengok ke belakang sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, proses komunikasi elit politik terhadap dinamika hukum di Indonesia sudah terjadi sejak Republik ini berdiri, atau bahkan sudah terjadi sejak perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia saat itu. Dimana para elit politik berupaya mengadakan perundingan-perundingan dengan pemerintah kolonial Belanda. Pada waktu itu Bangsa Indonesia dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Fenomena itu semakin menarik sejak terjadinya orde reformasi di Indonesia yakni pada tahun 1998 lalu. Pada waktu itu terjadi perubahan situasi politik yang signifikan dari masa pemerintahan otoriter ke masa pemerintahan demokratis. Mulai dekade itu, banyak perubahan tata hukum Indonesia yang mengarah pada penghargaan kepada suasana demokratis dan hak asasi manusia. Tidak menutup mata , itu semua tidak terlepas dari peran para elit politik dalam mewarnai suasana hukum di Indonesia.
Budaya komunikasi di Indonesia secara dominan sifatnya adalah high context culture. Budaya ini memfokuskan pemberian makna yang sangat tinggi pada konteks atau pesan nonverbal. Budaya konteks tinggi ini membuat masyarakat kurang menghargai pesan verbal (ucapan). Mereka akan lebih mementingkan bahasa tubuh (nonverbal) saat berkomunikasi. Kalau perlu, orang lain (komunikan) diharapkan dapat langsung mengerti bagaimana keinginan si komunikator tanpa harus mengucapkan inti permasalahan yang dimaksud. Untuk mencapai inti dari keinginannya, komunikator budaya konteks tinggi cenderung berbicara memutar. Mereka justru menghindari penyampaian langsung substansi pokok keinginan. Istilahnya, membiarkan orang lain menebak keinginan mereka melalui aspek nonverbal yang lebih dominan ditonjolkan. Sebaliknya, jika ada orang yang mengungkapkan keinginannya secara blak-blakan dan jujur, ia justru dicurigai kasar atau ambisius. Orang itu cenderung dianggap ”berbeda” atau ”aneh” dalam konteks yang mengarah negatif.

Peribahasa yang hidup di masyarakat seperti ”sedikit bicara banyak bekerja”, ”tong kosong nyaring bunyinya”, ”air beriak tanda tak dalam” atau ”sabdo pandita ratu” cukup merefleksikan budaya konteks tinggi masyarakat Indonesia yang tidak menyukai pembicaraan. Bahasa verbal hanya sekedar dilakukan untuk beramah-tamah, mengingat Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang ramah. Terkadang, yang diucapkan tidaklah terlalu penting untuk diucapkan, bahkan bertolak belakang dengan tujuan komunikasi yang hendak dicapai. Yang penting ngomong atau nyapa. Walaupun, sesuatu yang sudah diucapkan oleh komunikator sebenarnya tidak mengharapkan untuk dipenuhi oleh komunikan. Inilah yang disebut sebagai budaya basa-basi yang telah menjadi trademark tersendiri masyarakat Indonesia.

Budaya komunikasi massa mulai menunjukkan geliat sejak runtuhnya masa orde baru. Era reformasi membangkitkan industri media massa, yang sebelumnya harus selalu bersiap menghadapi SIUPP atau pembreidelan dari pemerintah jika menampilkan sesuatu yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pada masa itu. Seiring dengan perkembangan teknologi, media massa pun tak terbatas pada media cetak dan siar tapi juga merambah media baru yakni internet. Internet mengandalkan jangkauannya yang tanpa batas, sehingga dapat menarik khalayak lebih luas. Sayang, kehadirannya justru disalahgunakan. Maraknya situs porno, adalah salah satu contoh penyalahgunaan internet.
Kebebasan pers juga muncul, yang membuat arus informasi menjadi bebas dan lebih luas. Media massa dapat membentuk pola pikir seseorang akan sesuatu. Pemberitaan di media kadang dibuat untuk menimbulkan opini publik dalam masyarakat. Media massa juga dapat dijadikan sebagai tempat mempertontonkan budaya bahkan dapat menjadi ajang pembentukan budaya baru dalam kehidupan masyarakat. Di Indonesia, pengaruh media massa cukup kuat. Seperti yang dikatakan oleh rector UGM Ari, beliau mengatakan bahwa jika komunikasi politik hanya melalui media, bisa digoreng ke mana-mana dan ungkin bisa dimanfaatkan partai sebagai persaingan untuk upaya merebut dukungan massa.

Di Indonesia, demokrasi dipandang sebagai sistem yang mampu mengantar masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dinilai lebih mampu mengangkat harkat manusia, lebih rasional, dan realitis, untuk mencegah munculnya suatu kekuasaan yang dominan, represif, dan otoriter.
Demokrasi dapat dimengerti sebagai suatu sistem politik di mana semua warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara periodik dan bebas, yang secara efektif menawarkan peluang pada masyarakat untuk mengganti elit yang memerintah. Menurut Sundaussen dalam Murod (1999:59), demokrasi juga bisa dipahami sebagai suatu “policy” di mana semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai hak yang sama di depan hukum, dan kebebasan untuk menjalankan agama yang dipeluknya. Meskipun begitu, Sundaussen meyakini bahwa tidak semua manifestasi-manifestasi tentang demokrasi di atas pernah dijalankan sepenuhnya, bahkan dalam suatu sistem yang demokratis sekalipun.
Setelah orde baru tumbang dan Indonesia secara dramatis sudah melangkah ke tahap institusionalisasi demokrasi, sebetulnya perubahan-perubahan penting telah banyak terjadi. Minimal dari segi pranata, legal dan institusional. Kita sudah melaksanakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara langsung, kemudian banyak ritual-ritual demokrasi dimana partisipasi rakyat itu bisa diinstitusionalisasi berlangsung secara berkala dan reguler. Partai dibebaskan untuk berdiri, Indonesia mengalami periode dimana liberalisasi politik berpuncak pada multi partai yang luar biasa besar. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai point of no return. Sejauh kita bertekad untuk meneruskan mekanisme politik seperti ini secara legal dan konstitusional.
Undang-Undang Dasar 1945 sudah menjamin proses itu berlangsung terus. Beberapa perubahan penting yang cukup mendasar, salah satunya adalah desentralisasi. Sekarang dalam tahap menuju desentralisasi demokrasi. Memang kita akui mengandung banyak sekali kelemahan, banyak pertikaian yang tidak perlu, dan banyak sekali benturan kepentingan yang sengit agar desentralisasi betul-betul bermakna desentralisasi demokrasi maupun desentraliasi kekuasaan. Suasana ini sudah berlangsung sebagai basis bagi kehidupan berkala kita selama lima tahun proses sirkulasi kekuasaan. Hanya saja, siapa yang memanfaatkan situasi ini, memanfaatkan institusi ini, memanfaatkan mekanisme dan prosedur yang sudah demokratis seperti ini. Kita tahu bahwa yang berhasil memanfaatkan secara maksimal ternyata adalah aktor-aktor politik. Hal ini bisa dilihat pada semangat elit politik mendirikan partai politik guna meraih kekuasaan.
Jadi yang kita pahami menyangkut gerakan demokrasi di Indonesia adalah berbasis aktor. Hal tersebut mengasumsikan itu sebagai upaya berbagai kelompok aktor di kalangan masyarakat Indonesia, dan itu bisa berbagai variasi, yang berusaha memperkuat institusi-insitusi demokrasi pada tingkat yang lebih jauh, yaitu politik demokratisasi. Termasuk juga bagaimana demokrasi harus diberi konteks sosial kultural.
Jika kita mempelajari kembali gagasan-gagasan dari Tan Malaka, salah satu sosok pejuang kemerdekaan Indonesia, kita seolah diingatkan bahwa salah satu kelemahan yang sangat mencolok selama pemerintahan orde baru (dan dalam beberapa hal juga masih berlanjut hingga masa-masa pemerintahan sesudahnya) adalah tidak adanya oposisi yang dapat memainkan peran semacam devil advocate, sehingga kekuasaan nyaris tanpa kritik dan kontrol. Tragedi dalam politik orde baru adalah bahwa oposisi yang dipandang sebagai devil (setan) yang tidak pernah diakui sebagai advocate (pembela). Padahal oposisi sebagai kekuatan penyeimbang. Peran oposisi seperti itu selain dapat dimainkan oleh partai politik, juga dapat dimainkan oleh kalangan pers, NGO/LSM, organisasi non pemerintah atau yang lainnya. (Ihsanudin; Tan Malaka dan Revolusi Proletariat)
Devil advocate dalam istilah di atas adalah oposisi yang berkewajiban mengemukakan titik-titik lemah dari suatu kebijakan, sehingga apabila kebijakan itu diterapkan segala hal yang merupakan efek samping yang merugikan sudah lebih dahulu ditekan seminimal mungkin.
Dalam hal politik, “omong kosong” seringkali diucapkan oleh para elite politik yang merupakan permasalahan peradaban. Bagaimana mereka mengumbar janji demi sebuah tampuk kekuasaan. Tidak ada yang melakukan pembicaraan yang menyentuh wacana pemikiran. Saat kampanye lebih banyak melakukan aksi nonverbal yang menyentuh sisi emosional khalayak. Tidak seperti negara barat yang lebih menekankan low context culture. Unsur nonverbal memang penting, namun mereka lebih menghargai unsur verbal saat ingin mengutarakan keinginannya. Konteks verbal pun tidak hanya sekedar mengumbar janji-janji kosong, namun melakukan suatu perbincangan yang sifatnya menggerakkan otak. Sehingga, apa yang disampaikan oleh elite maupun calon elite politik saat kampanye ataupun membahas masalah perpolitikan lebih berbobot dan memancing partisipasi aktif dari khalayak. Secara tidak langsung, partisipasi aktif tersebut tentu saja dapat lebih mencerdaskan khalayak atau masyarakat. Mark Roeloef menyebutkan hakikat politik adalah pembicaraan, konflik kepentingan diturunkan dan diselesaikan melalui pembicaraan. Karena itu, budaya mendudukkan pentingnya pembicaraan dan menghargai perbedaan berpendapat menjadi dasar yang kuat untuk tumbuhnya demokrasi politik. Melalui pembicaraan itulah publik menjadi semakin cerdas.
Sidang-sidang dalam Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Bank Century makin membuka mata hati kita tentang pentingnya bekal penghayatan etika dalam komunikasi politik anggota Dewan. Sejumlah insiden, atau katakanlah momen dalam persidangan pansus, juga gaya dan alur penggalian informasi oleh para anggotanya banyak mendapat kritik sebagai ”kurang menggambarkan penguasaan etika”. Inilah realitas wakil rakyat kita: selain kemajuan-kemajuan dalam performa, muncul fakta lain tentang persoalan etika. Pemerintah nampaknya belum dapat menerapkan komunikasi yang komunikatif.
Komunikasi dialogis sebagai akar budaya komunikasi yang komunikatif belum diterapkan secara konsisten. Masih sering terjadi misscommunication antara masyarakat dengan pemerintah, atau pejabat publik dan anggota dewan yang mengarah kepada keterpurukan bangsa. Atas dasar inilah budaya komunikasi sangat diperlukan keberadaannya untuk menghindari konflik. Dengan mengedepankan budaya komunikasi, para pemimpin bangsa, pejabat publik, dan anggota dewan leluasa mengetahui dan mengatasi berbagai kasus yang menggejala di lingkungan masyarakat. Pejabat publik harus melakukan dialog terus menerus untuk mendapatkan hasil positif berdasarkan kebenaran hakiki. Mereka diharapkan mendengarkan penuh perhatian, mau menjawab pertanyaan dan keluhan, bersedia menjelaskan situasi dan kondisi yang ada secara kontekstual.

Kedudukan, Status, Peranan dan, Fungsi

Meskipun setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, namun yang melakukannya secara tetap dan berkesinambungan jumlahnya relatif sedikit. Walaupun sedikit, para komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik. Dan Nimmo (1989) mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik sebagai berikut: politikus; professional; dan aktivis.
1. Politikus
Politikus adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudukatif. Daniel Katz (dalam Nimmo, 1989) membedakan politikus ke dalam dua hal yang berbeda berkenaan dengan sumber kejuangan kepentingan politikus pada proses politik. Yaitu: politikus ideolog (negarawan); serta politikus partisan.

a. Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangkan kepentingan bersama/publik. Mereka tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan seorang langganan atau kelompoknya. Mereka lebih menyibukkan dirinya untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahkan reformasi, bahkan mendukung perubahan revolusioner-jika hal ini mendatangkan kebaikan lebih bagi bangsa dan negara.

b. Politikus partisan adalah orang-orang yang dalam proses politik lebih memperjuangan kepentingan seorang langganan atau kelompoknya. Dengan demikian, politikus utama yang bertindak sebagai komunikator politik yang menentukan dalam pemerintah Indonesia adalah: para pejabat eksekutif (presiden, menteri, gubernur, dsb.); para pejabat eksekutif (ketua MPR, Ketua DPR/DPD, Ketua Fraksi, Anggota DPR/DPD, dsb.); para pejabat yudikatif (Ketua/anggota Mahkamah Agung, Ketua/anggota Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, jaksa, dsb.).

2. Profesional
Profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi, karena keahliannya berkomunikasi. Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa; dan perkembangan serta merta media khusus (seperti majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb.) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Baik media massa maupun media khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan lambang-lambang dan khalayak khusus. Di sini masuklah komunikator profesional ”yang mengendalikan keterampilan yang khas dalam mengolah simbol-simbol dan yang memanfaatkan keterampilan ini untuk menempa mata rantai yang menghubungkan orang-orang yang jelas perbedaannya atau kelompo-kelompok yang dibedakan”. James Carey (dalam Nimmo, 1989) mengatakan bahwa komunikator profesional adalah makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain ang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional beroperasi (menjalankan kegiatannya) di bawah desakan atau tuntutan yang, di satu pihak, dibebabnkan oleh khalayak akhir dan, di lain pihak , oleh sumber asal. Seperti politikus yang dapat dibedakan politikus ideolog dan partisan, profesional mencakup para jurnalis pada satu sisi, dan para promotor pada sisi lain.
a. Kita membicarakan jurnalis sebagai siapun yang berkaitan dengan media berita dalam pengumpulan, persiapan, penyajian, dan penyerahan laporan mengenai peristiwa-peristiwa. Ini meliputi reporter yang bekerja pada koran, majalah, radio, televisi, atay media lain; koordinator berita televisi; penerbit; pengarah berita; eksekutif stasiun atau jaringan televisi dan radio; dan sebagainya. Sebagai komunikator profesional, jurnalis secara khas adalah karyawan organisasi berita yang menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para politikus untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan politikus dengan publik umum, menghubungkan publik umum dengan para pemimpin, dan membantu menempatkan masalah dan peristiwa pada agenda diskusi publik.

b. Promotor adalah orang yang dibayar untuk mengajukan kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke dalam promotor adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi swasta atau pemerintah, pejabat informasi publik pada jawatan pemerintah, skretaris pers kepresidenan, personel periklanan perusahaan, manajer kampanye dan pengarah publisitas kandidat politik, spesialis teknis (kameraman, produser dan sutradara film, pelatih pidato, dsb.) yang bekerja untuk kepentingan kandidat politik dan tokoh masyarakat lainnya, dan semua jenis makelar simbol yang serupa.

3. Aktivis
Aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Pertama, terdapat jurubicara bagi kepentingan yang terorganisasi. Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-citakan jabatan pada pemerintah; dalam hal ini komunikator tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi lapangan kerjanya. Jurubicara ini biasanya juga bukan profesional dalam komunikasi. namun, ia cukup terlibat baik dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik. Berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan peran yang serupa dengan peran politikus partisan, yakni mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi. dalam hal lain jurubicara ini sama dengan jurnalis, yakni melaporkan keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu organisasi. Kedua, terdapat pemuka pendapat yang bergerak dalam jaringan interpersonal. Sebuah badan penelitian yang besar menunjukkan bahwa banyak warga negara yang dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis, meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka. Apakah untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya atau memperkuat putusan yang telah dibuatnya. Orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka pendapat. Mereka tampil dalam dua bidang:
a. Mereka sangat mempengaruhi keputusan orang lain; artinya, seperti politikus ideologis dan promotor profesional, mereka meyakinkan orang lain kepada cara berpikir mereka.

b. Mereka meneruskan informasi politik dari media berita kepada masyarakat umum. Dalam arus komunikasi dua tahap gagasan sering mengalir dari media massa kepada pemuka pendapat dan dari mereka kepada bagian penduduk yang kurang aktif . banyak studi yang membenarkan pentingnya kepemimpinan pendapat melalui komunikasi interpersonal sebagai alat untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang penting.

Dalam suatu sistem politik yang demokratis, terdapat subsistem suprastruktur politik (lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif) dan subsistem infrastruktur politik (partai politik, organisasi kemasyarakatan, kelompok kepentingan, dll) –nya.

Proses politik berkenaan dengan proses input dan output sistem politik. Dalam model komunikasi politik, dijelaskan bahwa komunikasi politik model input merupakan proses opini berupa gagasan, tuntutan, kritikan, dukungan mengenai suatu isu-isu aktual yang datang dari infrastruktur ditujukan kepada suprastruktur politiknya untuk diproses menjadi suatu keputusan politik (berupa undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan, dan sebagainya). Sedangkan komunikasi politik model output adalah proses penyampaian atau sosialisasi keputusan-keputusan politik dari suprastruktur politik kepada infrastruktur politik dalam suatu sistem politik.

Dewasa ini, contoh proses politik yang paling aktual dalam sistem politik kita adalah isu tentang harga bahan bakar minyak (BBM). Tuntutan-tuntutan pembatalan kenaikan harga BBM dari berbagai kalangan masyarakat (mahasiswa, partai politik, organisasi kemasyarakatan) ditujukan kepada wakil-wakil rakyat mereka yang duduk di DPR dan DPRD, juga kepada pemerintah eksekutif (presiden dan para pembantunya). Kemudian DPR mengadakan sidang paripurna untuk membahas isu ini.
Salim Said dalam Asmawi (1999:155) mengatakan bahwa Gus Dur adalah politikus paling ulung. Sejak era 1990-an di Indonesia hanya ada dua politikus sejati, yakni Pak Harto dan Gus Dur. Kini setelah Soeharto tidak lagi terjun dalam politik praktis, tinggal Gus Dur, yang ia anggap politikus paling ulung.
Almarhum Gus Dur atau KH. Abdurahman Wahid yang disebut-sebut sebagai political player ini merupakan salah satu politikus yang sangat identik dengan Islam dan pluralitas. Hal tersebut dapat dilihat saat beliau memimpin NU (Nahdatul Ulama). Beliau mampu mengubah citra NU. Sebelumnya citra NU yang menonjol adalah sebagai organisasi Islam yang ekslusif dari pengaruh pemikiran kontemporer yang berkembang, konservatif dalam pemahaman keagamaan, dan fundamentalis dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Hanya dalam tiga periode kepemimpinannya, dia berhasil mengubah citra NU menjadi inklusif, modern, dan moderat. Gus Dur juga sangat bersemangat dalam memperjuangkan nilai-nilai demokratis dalam kehidupan politik nasional, sementara kata orang, yang bersangkutan belum tentu demokrat dalam pergaulan sehari-hari. Ini mungkin berkaitan dengan tradisi pesantren, di mana posisi kiai tak dapat diganggu gugat dan tidak biasa dikritik.
Pada dasarnya, gagasan besar Abdurrahman Wahid dalam komunikasi politik lebih diletakkan pada upaya membangun pemikiran liberal mengenai agama, negara dan masyarakat. Gagasan-gagasan liberal terhadap persoalan tersebut merupakan konsekuensi logis dipilihnya paradigma liberal dalam memberikan penafsirannya atas wacana-wacana yang berkembang dalam masyarakat.

Tanggung jawab Ilmuwan dan Praktisi

Sebagai proses politik, komunikasi berperan menghubungkan bagian-bagian dari sistem politik. Gabriel Almond (dalam Alfian, 1994) mengibaratkan komunikasi sebagai “aliran darah” yang mengalirkan pesan-pesan politik yang berupa tuntutan, protes, dukungan ke jantung pemrosesan sistem politik. Proses komunikasi politik yang kita saksikan setiap hari secara langsung maupun memalui media massa elektronik maupun cetak, senantiasa disuguhkan fenomena yang cenderung tanpa etika, keras bahkan menjurus brutal. Sidang-sidang wakil rakyat (legislatif), rapat-rapat eksekutif mulai dari pusat sampai daerah juga penuh kekerasan dan berulang kali berubah wujud menjadi ajang debat kusir tidak berkesudahan. Hal ini menjadi pendidikan politik yang samasekali tidak mendidik bagi masyarakat Indonesia. Perilaku politisi yang tidak beretika, naik kursi saat sidang, jotos-jotosan, berprilaku tidak selayaknya wakil rakyat. Itulah potret komunikasi politik di Indonesia belakangan ini.

Komunikator politik, khalayak komunikasi politik, massage politik yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui saluran media massa menghasilakan efek dan umpan balik yang meresahkan masyarakat. Media massa sebagai salah satu saluran komunikasi politik sangat berperan dalam memberi warna terhadap komunikasi politik di Indonesia. Apakah ingin memposisikan diri sebagai penyejuk atau sebaliknya justru memposisikan diri sebagai pembakar atau menjadikan komunikasi politik itu makin sarat aroma kekerasan. Mungkin lantaran sistem politik sudah berubah total, perilaku saling menghujat tampaknya bukan hal yang tabu lagi. Semua merasa pendapat diri mereka yang paling benar, sehingga tidak mau lagi mendengar dan menghargai pendapat orang lain. fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya belum siap melaksanakan demokrasi liberal. Demokrasi itu diinterpretasikan sebagai kebebasan berbicara dan kebebasan menyatakan pendapat yang sebebas-bebasnya tanpa batas.

Demokrasi memiliki banyak pilar di mana salah satu dari pilar itu adalah penegakan hukum. Bicara demokrasi dengan sendirinya harus bicara hukum. Fenomena yang berkembang saat ini cenderung mengadopsi hukum rimba dan hukum kekerasan, sehingga pihak yang kuat secara otomatis akan menang. Apabila fenomena kekerasan itu berlangsung terus, Indonesia akan sangat kacau.

Disisi lain, proses komunikasi politik dengan proses pencitraan yang kurang mendidik, menjadi fenomena dewasa ini. merupakan salah satu bentuk ganjalan atas proses konsolidasi demokrasi kita. Rakyat kembali diakali sebagian elit pemburu kekuasaan, dengan usaha-usaha yang cenderung machiavelistik atau menghalalkan segala cara.

Dalam konteks politik sekarang ini, mungkin sedang berlaku adagium, orang pintar tidak hanya memakan orang bodoh, tetapi juga orang stagnan. Jangan heran, publik cenderung kompromistis dengan realitas hasil pencitraan itu. Akhirnya semakin banyak seorang politikus tampil di ruang-ruang publik, dengan citra tertentu, semakin terbentuklah citra yang diinginkannya. Bagi politisi ini, popularitas dadakan yang diraih lewat hegemoni modal tentu sangat berguna, karena saat pencobolosan publik tidak punya banyak pilihan lain.

Situasi darurat, kasus, dan bencana dapat terjadi kapan pun dan di mana pun. Untuk bisa mengantisipasi dan mengendalikan situasi tersebut dibutuhkan sistem yang telah disiapkan sebelum, termasuk skema umum komunikasi krisis. Kesiapsiagaan menghadapi krisis tersebut diharapkan mampu menjembatani komunikasi krisis yang efektif dan beretika yang menjadi kendala banyak lembaga dan organisasi di negara ini. Kredibilitas pihak/lembaga terkaitlah yang dipertaruhkan di hadapan publik dalam hal kesalahan komunikasi krisis, dan bukannya kredibilitas media. Media justru mendapat kredit poin dari pembaca untuk kemampuan investigasinya dan keakuratan berita yang dilansir.

Bidang Permasalahan Komunikasi Politik dan Regulasi

Menanggapi kode etik memang sampai saat ini tidak ada, kembali kepada si praktisi saja. Akan tetapi jika sampai terjadi transaksi, kedua belah pihak harus saling waspada, karena kemungkinan akan terjadi akhir yang kurang pas. Dari sisi publik umumnya mengharapkan hasil dari fengshui sangat luar biasa, kadang- kadang masyarakat hanya mau berpikir dari satu sisi saja, seolah-olah ahli praktisi adalah super ajaib, sehingga bila tidak berhasil maka akan melontarkan unek-unek yang luar biasa. Para praktisi yang mempunyai kredibelitas dalam akademisi terkesan mengungkap ada apa seberannya secara komunikasi politik, pergerakan kelompok - kelompok tertentu yang ada di dalam lingkar sistem antara aspek - aspek negara baik itu sosial, budaya, politik, ekonomi yang membuat masyarakat terpengaruh dengan isu, sebagai komunikator yang berbicara verbal praktisi harus bertanggung jawab atas apa yang telah dikatakan karena mediamasa mengamati kemana pergerakan bicara apakah bersifat kontradiktif, kontroversi, yang mengeubah perssepsi masyarakat dan media massa akan melihatnya sebagai komersial atas dasar kata demokrasi.
Komunikasi politik adalah mempersambungkan semua bagian dari sistem politik (mengalirnya pesan-pesan politik berupa tuntutan, protes dan dukungan / aspirasi dan kepentingan) dan juga masa kini dengan masa lampau. Institusi yang berwenang melakukan pembentukan dan perubahan hukum di Indonesia adalah Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen). Sedangkan faktor untuk dapat melakukan perubahan adalah. oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Menenai pengaruh komunikasi para elit politik terhadap perubahan hukum di Indonesia ternyata sangat signifikan, sepanjang konfigurasi kekuatan yang di belakang pembuatan dan penegakkan hukum itu cukup dominan.
Cita-Cita Tatanan Kehidupan Komunikasi Politik dan Pengembangan Sikap Bermartabat Ke Depan
1. Ada golongan sarjana menganggap ilmu politik sebagai suatu ilmu pengetahuan yang praktis, yang ingin membahas keadaan sesuai kenyataan (realistic), sedangkan ilmu negara dinamakan ilmu pengetahuan yang teoritis yang sangat mementingkan segi normatif (normatif berarti memenuhi norma-norma dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan). menurut Hermann Heller, perbedaan ini hanya perbedaan tekanan saja, sebab ilmu politik tidak dapat menjauhkan diri dari teori, tetapi juga memerhatikan segi normatif, sekalipun tidak sedalam ilmu negara.

2. Ada golongan sarjana menganggap ilmu politik mementingkan sifat-sifat dinamis dari negara, yaitu proses-proses kegiatan dan aktivitas negara; perubahan negara yang terus-menerus yang disebabkan oleh golongan-golongan yang memperjuangkan kekuasaan. Subyek ilmu politik ialah gerakan dan kekuatan di belakang evolusi yang terus-menerus itu. Sebaliknya, oleh sarjana-sarjana ini ilmu negara dianggap lebih mementingkan segi-segi statis dari negara, seolah-olah negara adalah beku dan membatasi diri pada penelitian lembaga kenegaraan yang resmi.

3. Dianggap bahwa ilmu negara lebih tajam konsep-konsepnya dan lebih terang metodologinya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkret dan lebih mendekati realitas.

4. Perbedaan yang praktis ialah bahwa ilmu negara lebih mendapat perhatian dari ahli hukum, sedangkan ahli sejarah dan ahli sosiologi lebih tertarik kepada ilmu politik.




















DAFTAR PUSTAKA
http://www.komunikasipolitik.blogspot.com/
Nasrun, M. R. (1993). Indonesia Dan Komunikasi Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
MUHTADI, M. D. (2008). Komunikasi Politik Indonesia. Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Ihsanudin, Miftahuddin(2010). Tan Malaka dan Revolusi Proletariat. Bandung : Resist Book
http://www.diskusiskripsi.com/2011/05/pesan-komunikasi-politik-abdurrahman.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar