Sabtu, 05 November 2011

Media dan Politik (A-IK-5)

kelompok :

1. Indra Cahya
2. Kukuh Widyanto
3. Muhammad Mahbub
4. Rahma Aprilia Kumaji
5. Rakay Indramayapanna

MEDIA DAN POLITIK

Hubungan antar ilmu media dan politik sudah berlangsung lama, jauh sebelum ilmu politik menemukan jati dirinya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dari Filsafat. Akan tetapi, politik sebagai disiplin ilmu yang baru diakui pada tahun 1880 setelah School of Political Science berdiri di Columbia College. Karena hubungan yang begitu erat antara media dengan politik, studi tentang pengaruh pers dalam pembentukan pendapat umu (opini publik) selalu mendapat tempat dalam kurikulum ilmu politik, 70 tahun sebelum ilmu komunikasi melembaga sebagai ilmu di Amerika Serikat.
Namun, studi tentang pengaruh media terhadap aktivitas politik baru menarik bagi para ahli ilmu-ilmu sosial nanti dalam tahun 1930-an, terutama dalam hubungannya dengan pernyataan para negarawan dan pemimpin partai politik yang memengaruhi opini publik. Kini media massa memainkan peranan yang sangat penting dalam proses politik, bahkan menurut Lichtenberg (1991) media telah menjadi aktor utama dalam bidang politik. Ia memiliki kemampuan untuk membuat seseorang cemerlang dalam karier politiknya. Hal itu diakui oleh Robert W. McChesney dalam Thomas (2004) bahwa “in nearly all variants of social and political theory that media and communication system are cornerstones of modern societies. In political term, they serve to enhance democracy.

2.1. Beberapa Teori Komunikasi
Teori komunikasi terbagi dalam 4 paradigma dan metodenya, paradigma tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

1. Paradigma Mekanistik
Paradigma mekanistik adalah paradigma yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip atau hukum-hukum kausalitas dalam memahami manusia. Manusia dipandang sebagai objek dalam relasi ‘manusia-alam’. Manusia menjadi tunduk kepada pengalaman, bahkan isi jiwa manusia itu sendiri adalah kumpulan pengalaman. Teori komunikasi massa yang tergolong dalam paradigma mekanistik ini adalah teori kultivasi, teori jarum suntik dan teori agenda setting.
Teori Penanaman (cultivation)
Teori ini menggambarkan kehebatan televisi dalam menanamkan sesuatu dalam jiwa penonton, kemudian terimplementasi dalam sikap dan perilaku mereka. Misalnya kebiasaan televisi menyiarkan berita atau film tentang kejahatan memberi pengaruh (tertanam) pada sikap dan perilaku penonton untuk tidak mau keluar pada malam hari tanpa ditemani orang lain. Akan tetapi, tidak demikian halnya di Inggris, stasiun-stasiun televisi tidak terbiasa menayangkan berita-berita kejahatan dan kekerasan sehingga masyarakat di sana tidak perlu takut keluar malam.
Tingginya frekuensi liputan televisi tentang kekerasan, pemerkosaan, dan kejahatan di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Palembang, menyebabkan para penonton dapat bersikap dan berperilaku tidak mau mengunjungi kota-kota tersebut karena dipersepsikan (tertanam) sebagai kota yang penuh tindakan kriminal, padahal dalam realitasnya secara keseluruhan tidak demikian. Pernah seorang wartawan ibukota enggan ke Makassar ketika ditugasi meliput pameran budaya karena selalu melihat unjuk rasa dalam layar TV. Dalam bayangan dia, Makassar adalah kota yang tidak aman, penuh kekerasan, dan sebagainya. Namun, ketika ia memberanikan diri datang karena belum pernah berkunjung ke kota ini, ia menemukan hal yang sangat bertolak belakang dengan apa yang disiarkan dalam televisi. Ia melihat bahwa Makassar adalah kota yang aman, cantik, dan ia pun ingin kembali jika ada kesempatan lain.
Di bidang politik misalnya, teori ini memiliki pengaruh yang besar bagi para penonton dengan menggambarkan (tertanam) dalam jiwa, sikap, dan perilaku mereka, bahwa partai yang banyak tampil ditelevisi diasosiasikan sebagai partai besar dan berpengaruh, sekalipun dalam kampanye, kameramen televisi merekayasa dengan hanya meliput tempat-tempat kerumunan massa-massa. Dari faktor penanaman media terhadap jiwa para pemirsa memberi pengaruh yang besar terhadap pemilih. Oleh karena itu, tidak heran jika aktor sekaliber Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger bisa terpilih sebagai presiden dan walikota di Amerika. Demikian juga Joseph Estrada terpilih sebagai presiden dan Bon Revilla sebagai senator di Filipina. Di Indonesia berkat pengaruh media sejumlah aktor dari artis misalnya Rano Karno, Ajie Massaid, Dede Yusuf, Marissa Haque, Miing Gulimar sangat dikenal oleh masyarakat sehingga bisa terpilih sebagai anggota parlemen.
Selain teori ini berhasil dalam menanamkan pengaruh pada jiwa pemirsa, teori kultivasi banyak mendapat kritik terutama dalam liputan yang bersifat palsu (pseudo events).
Teori Jarum Suntik
Teori ini diangkat setelah melihat keberhasilan penggunaan medium radio dan media cetak sebagai alat propaganda dalam Perang Dunia I, serta keberhasilan drama radio Orson Walles yang mengisahkan turunnya makhluk Mars ke atas bumi yang didramatisasi sehingga membuat penduduk di sejumlah kota Amerika jadi gempar. Teori jarum suntik berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memeliki kekuatan untuk menolak informasi setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperti kemasukan obet bius melalui jarum suntik sehingga tidak bisa memiliki alternatif untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan teori peluru (bullet theory).
Teori Agenda Setting
Teori ini mengakui bahwa media memberi pengaruh terhadap khalayak dalam pemilihan presiden melalui penayangan berita, isu, citra, maupun penampilan kandidat itu sendiri. Becker & McLeod (1976) dan Iyenger & Kinder (1987) mengajui bahwa meningkatnya penonjolan atas isu yang berbeda bisa memberikan pengaruh yang signifikan terhadap opini publik. Dalam konteks politik, partai-partai dan para aktor politik akan berusaha memengaruhi agenda media untuk mengarahkan pendapat umum dalam pembentukan image.
Dengan menonjolkan isu, citra, dan karakteristik tertentu kandidat, media ikut memberikan sumbangan yang signifikan dalam melakukan konstruksi persepsi publik dalam pengambilan keputusan, apakah akan ikut memilih dan siapa yang akan dipilih. McComb mencontohkan bahwa dalam kondisi seperti ini media bisa tampil untuk mengambil keputusan dengan mengekspos masalah-masalah yang perlu dipikirkan oleh masyarakat. Misalnya bagaimana media menggairahkan orang agar tertarik menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Media tidak saja tergantung pada berita kejadian (news event), tetapi ia memiliki tanggung jawab untuk menggiring orang melalui agenda-agenda yang bisa membuka pikiran mereka. Seperti yang dikatakan McCombs “the mass media may not be successful in telling people what ti think, but the media are stunningly successful in telling their audience what to think about.”
2. Paradigma Psikologis
Paradigma psikologis komunikasi manusia jelas berfokus pada individu sebagai “tempat” yang utama untuk menemukan terjadinya komunikasi. Tambahan pula, perspektif psikologis memandang individu sebagai organisme kotak hitam, dengan berfokus pada individu secara efektif komunikasi ditempatkan dalam keadaan internal sehingga tidak dapat dicapai melalui pengamatan langsung.
Paradigma psikologis komunikasi berpusat pada “keaktifan” si komunikator. Model masukan-keluaran dengan jelas memperlihatkan bahwa semata-mata adanya informasi tidaklah menjamin bahwa individu menerima atau menyimpannya. Dengan perkataan lain, para komunikator secara aktif mengendalikan informasi yang mereka olah. Semua aspek dalam perspektif psikologis diperhatikan termasuk linkungan. Teori komunikasi massa yang termasuk dalam paradigma ini adalah Teori Kegunaan dan Kepuasan.
Teori ini banyak keterkaitan dengan sikap dan perilaku para konsumen, bagaimana mereka menggunakan media untuk mencari informasi tentang apa yang mereka butuhkan. Dalam praktik teori ini banyak digunakan oleh para politisi. Misalnya bagaimana Bill Clinton mempelajari cara debat Kennedy ketika ingin tampil debat dengan Bush dalam pemilihan presiden Amerika 1992.
Tidak itu saja, di gedung-gedung parlemen bisa dilihat bagaimana para anggota DPR membaca dan mengikuti bagitu banyak media dalam sehari, hanya untuk memperoleh informasi dari hasil liputan para wartawan. Politisi menjadikan media sebagai mata dan hati untuk mengetahui apa yang terjadi di masyarakat, sekaligus menjadikan media sebagai pengganti partai untuk menghubungkan dengan para pendukung atau konstituennya. Namun, dibalik itu orang bisa belajar dan mengambil manfaat dari apa yang disiarkan oleh media, misalnya ketika TVRI masih menjadi media satu-satunya media televisi yang sangat ketat dalam pemberitaan, boleh dikata belum ada unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Namun, ketika televisi swasta diperkenankan menyiarkan berita-berita luar negeri tanpa banyak seleksi, orang di Indonesia dengan bebas melihat demonstrasi mahasiswa di Korea Selatan dan adu jotos para anggota parlemen di Taiwan. Belajar dari apa yang merekapernah lihat ditelevisi, tidak mengherankan jika demonstrasi dan unjuk rasa juga makin menjamur, bahkan praktik yang hampir mengakibatkan perkelahian antara para anggota deparlemen juga sudah terjadi di Indonesia karena meniru apa yang mereka lihat di televisi.
Contoh lain dari penggunaan teori kegunaan dan kepuasaan adalah Dian menginformasikan kepada temannya Anto bahwa pada pemilu mendatang akan terdapat sekitar 48 partai politik yang telah terpilih sebagai calon pemegang kekuasaan pemerintahan. Namun, Anto tidak begitu memperhatikan pesan tersebut. Hal ini dikarenakan Anto tidak menyukai hal-hal yang menyangkut dengan pemerintahan.
3. Paradigma Interaksional
Perspektif interaksional menonjolkan keagungan dan nilai individu di atas segala pengaruh yang lainnya. Manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, bermasyarakat, dan buah pikiran. Dalam setiap proses penunjukkan diri apapun, individu itu sendiri merupakan objek penafsiran. Perspektif interaksional tentang komunikasi manusia amat sering dinyatakan sebagai “komunikasi dialogis” atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog.
Perspektif Interaksional mengakui bahwa para pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lain. Umpan balik dan efek bersama merupakan kunci konsep. Komunikasi sebagai monolog mengandung pandangan mekanistis tentang seseorang (atau suatu lingkungan) “yang sedang melakukan sesuatu atas” orang yang lainnya. Perspektif interaksional sendiri lebih banyak menghasilkan diskusi dan gejolak daripada menghasilkan penelitian-penelitian empiris yang sesungguhnya. Lebih-lebih lagi, interaksionisme telah menimbulkan kepekaan atau kesadaran yang makin tinggi di kalangan para anggota masyarakat ilmiah akan kekurangan perspektif-perspektif yang lebih bersifat tradisional.
Contoh dari paradigma ini seperti : Dasa, seorang siswa SMA sedang memberitahukan masalah BBM kepada temannya, Gowanhi . Ia memberitahukan bahwa harga premium akan turun bulan Desember mendatang. Disisi lain, ternyata Gowan juga memikirkan hal yang sama yaitu penurunan harga premium.
4. Paradigma Pragmatis
Paradigma pragmatis tidak mengingkari eksistensi filter konseptual yang internal. Ia hanya menganggap sebagai bentuk analisis lain. Fenomena internal ini memasuki sistem komunikatif sebagai perilaku yang dieksternalisasikan, atau tidak memasuki sistem sama sekali. Baru setelah itu, internalisasi menjadi bagian sistem. Sekalipun begitu, tindakan perorangan itu tidak membentuk seluruh sistem.
Kita cenderung untuk membatasi pikiran kita tentang waktu melalui konseptualisai yang telah ditanamkan oleh jam. Sudah tentu, perspektif pragmatis komunikasi manusia mencakup konsep waktu secara fisik. Waktu fisik masih tetapa merupakan standar untuk mengukur semua dimensi waktu lainnya,namun begitu perspektif pragmatispun mencakup konsep waktu lainnya. Satu aspek waktu yang pragmatis mencakup kesatu arahannya yang disebutkan itu. Dalam hal ini peristiwa atau perilaku dapat terjadi dalam tingkat redudansi dapat terukur.
Paradigma pragmatis: masih dipengaruhi oleh sosiologi khususnya teori sistem. Komunikasi dipahami sebagai sistem prilaku yang berurutan berupa pola interaksi, sistem, struktur dan fungsinya. Metodenya hanya dimungkinkan dengan menggunakan analisa kualitatif. Teori komunikasi massa yang tergolong dalam paradigma ini adalah Teori Spriral Keheningan.
Teori ini banyak berkaitan dengan kekuatan media yang bisa membuat opini publik, tetapi di balik itu ada opini yang bersifat laten berkembang di tingkat bawah yang tersembunyi karena tidak sejalan dengan opini publik mayoritas yang bersifat manifes (nyata di permukaan). Opini publik yang tersembunyi disebut opini yang berada dalam lingkar keheningan (the spiral of silence). Menurut beberapa pengamat, teori ini dibuat oleh Elisabeth N. Neumann tidak lepas dari pengalamannya sebagai mantan wartawan di zaman Nazi di mana Hitler sangat membenci orang Yahudi sehingga timbul pendapat umum laten yang tersembunyi di tingkat bawah karena diburu oleh rasa ketakutan.
Di Indonesia, ketika pemerintah Soeharto berlangsung, terutama satu dekade menjelang kejatuhannya benyak sekali opini publik berkembang di tingkat bawah, tetapi tidak bisa terangkat karena bertentangan dengan opini mayoritas di tingkat atas. Akibatnya muncul banyak humor politik dikalangan masyarakat yang tidak bisa dipublikasikan dalam media massa. Misalnya istilah Tosiba diplesetkan Tommy, Sigit, dan Bambang, AIDS (Aku Ingin Ditelepon Soeharto), dan sebagainya. Bahaya opini publik yang mengalami lingkar keheningan seperti ini bisa menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meletus dan melahirkan kerusuhan.

2.2. Hubungan Media dengan Politisi dan Pemerintah

Hubungan antara media dengan politisi atau pemerintah sudah berjalan sekian lama, dan hubungan itu bisa dikatakan tidak bisa dipisahkan antar keduanya, bukan saja karena wartawan membutuhkan para politisi atau pejabat pemerinyah sebagai sumber informasi (make of news), tetapi juga para politisi maupun pejabat pemerintah memerlukan media untuk menyampaikan pikiran-pikirannya maupun kebijakan uang mereka ambil untuk kepentingan orang banyak.
Meski ada hubungan yang saling membutuhkan antara media dengan politisi, namun hubungan ini kadang menimbulakan gesekan yang kurang harmonis. Oleh karena itu, ada yang mengatakan hubungan antara keduanya seperti benci, tetapi rindu (hate and love), seperti ucapan Senator Orlando Marcado bahwa “It is clear that media needs politician, as politician needs media. There are inextricably joined together in a :love-hate” realtionship.”
Hubungan antara media dan pemerintah biasanya lebih banyak bersifat negatif. Sifat negatif inilah yang sering menimbulkan miscommunication dan misinformation. Konsep terakhir yang muncul adalah kriteria penyimpangan (deviance), yakni sesuatu mempunyai nilai berita jika menyimpang dari norma rata-rata, baik yang menyangkut peristiwa, orang, perilaku, arah perkembangan dan sebagainya (Shoemaker dkk. Dalam Dahlan, 1990). Dengan demikian, pers cenderung untuk menyiarkan berita yang tidak nyaman bagi pejabat, namun disukai oleh pembaca. Sementara itu, pemerintah sendiri mempunyai kriteria tentang berita, yaitu sering dikaitkan dengan keberhasilan, ketertiban, dan pembangunan. Hubungan yang kurang harmonis antara media dengan pemerintah dapat dilihat dalam berbagai kasus di beberapa negara seperti berikut ini:
• Di Prancis, para wartawan tidak bisa melaksanakan investigative reporting karena takut pemerintah akan melakukan tindakan balasan untuk menekan media. Ketika media mengungkap skandal almarhum Presiden Francois Miterrand yang punya anak luar nikah, rakyat Prancis jadi marah dan tidak senang pada pers yang terlalu bebas dalam mengungkapkan hal-hal yang bersifat privasi pemimpin negara.
• Di Jepang, media tidak boleh mengekspos kesehatan Kaisar Hirohito.
• Di Korea Selatan pada tahun 1957 ada 60 persen dari 42 surat kabar harian anti pemerintah, dan ketika terjadi pembunuhan Presiden Park Chung Hee (Oktober 1979), tokoh pengekangan pers di mana banyak sekali surat kabar ditutup, organisasi pers dilarang, dan diperkirakan ada 600 orang wartawan dinyatakan hilang.
Permusuhan antara pers dengan pemerintah menurut Meriil dikarenakan media menjalankan fungsinya watchdog dalam mengontrol jalannya pemerintah. Meriil justru mempertanyakan kenapa hubungan antara media dan pemerintah mesti bermusuhan. Karena tidak bisa bersahabat dan bekerja sama untuk kepentingan orang banyak. Bukankah keduanya bekerja untuk kepentingan publik? Tampak media atau wartawan senang jika memiliki sikap berlawanan dengan pemerintah, padahal hubungan antara keduanya sesungguhnya tidak dibentuk atas dasar permusuhan, melainkan hidup dalam satu kehidupan yang simbiosis dan saling membutuhkan. Media and politician can be te best of friends.


Terdapat adanya mitra kerja sama segitiga antara masyarakat, media, dan pemerintah. Demikian pula dalam hal pengawasan, bukan hanya media yang memiliki hak pengawasan terhadap pemerintah dan masyarakat, tetapi antara ketiganya saling mengawasi satu sama lain. Tentu saja menjadi persoalan jika media tidak memiliki kesedian untuk diawasi oelh pemerintah atau masyarakat. Ini berarti media menuntut adanya hak-hak khusus atau keistimewaan, padahal sebagai suatu lembaga kemasyarakatan ia memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga-lembaga sosial lainnya atau individu di depan hukum. Pengawasan tidak diartikan sama dengan pembredelan atau kontrol dalam bentuk sensor, melainkan pengendalian agar tetap berada dalam landasan cita-cita bangsa untuk menciptakan suatu negara adil, makmur, dan sejahtera.
Pada akhirnya diharapkan peran media bukan hanya memberitakan, tetapi juga dalam koridor pembangunan bangsa (nation building). Pemerintah menginginkan media dapat memelihara hegemoni, dengan tidak perlu memproteksi struktur sosial melalui tekanan atau kekuatan bersenjata, melainkan masyarakat bisa hidup dalam situasi yang konduksif untuk bekerja dan mencari penghidupan. Untuk media sedapat mungkin berperan untuk memelihara kondisi masyarakat yang demikian (hegemony). Jadi wartawan dan organisasi-organisasi media tidak bisa dilihat secara sederhana, yakni hanya melaporkan peristiwa sebagai berita, melainkan bisa berpartisipasi di dalamnya dan bertindak sebagai pelaku dan pendukung terwujudnya hegemoni tersebut (McNair: 2003).
Disini dapat dilihat betapa sulitnya tugas para karyawandi semua negara, khususnya di negara-negara sedang berkembang, sebab ia berhadapan pada dua sisi kepentingan, yakni kepentingan pada profesionalisme yang bisa sinergi dengan harapan negara, dimana kedua-nya menjadi bagian dari tugas nasional. Jadi media dalam memberitakan suatu kejadian sedapat mungkin bisa melayani kebutuhan masyarakat akan “hak untu mengetahui”, serta menawarkan opsi terhadap pilihan politik dengan menyuburkan tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam urusan-urusan pemerintahan dan kemanusiaan (Guravitch dan J.G. blumler dalam Lichtenberg: 1991).
Dalam hal penegakan demokrasi, Gurevitch dan J.G. blumler dalam Lichtenberg (1991) mengharapkan media massa bisa berperan untuk:
• Mengawasi lingkungan sosial politik dengan melaporkan perkembangan hal-hal yang menimpa masyarakat, apakah masyarakat makin sejatera atau tidak;
• Melakukan agenda setting dengan mengangkat isu-isu kunci yang perlu dipikirkan dan dicarikan jalan keluar oleh masyarakat;
• Menjadi platform dalam rangka menciptakan forum diskusi antara politisi dan juru negara terhadap kelompok kepentingan dan kasus lainnya;
• Membangun jembatan dialog antara pemegang kekuasaan pemerintahan dan masyarakat luas;
• Membangun mekanisme sehingga masyarakat memiliki keterlibatan dalam hal kebijakan publik;
• Merangsang masyarakat untuk belajar, memilih, dan melibatkan diri, dan tidak hanya semata pengikut dalam proses politik;
• Menolak upaya dalam bentuk campur tangan pihak-pihak tertentu agar pers keluar dari kemerdekaan dan integritasnya;
• Mengembangkan potensi masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan politiknya;
Untuk mengembangkan harapan media massa dalam perjuangan demokrasi, sudah tentu tidak begitu mudah. Ada empat hal yang bisa menjadi rintangan dalam pencapaian peran media dalam mendorong demokrasi, antara lain: (1) Konflik yang terjadi di antara nilai-nilai demokrasi itu sendiri, demikian pula konflik antar pendapat mayoritas dan pandangan kelompok marginal yang haus didengar. (2) para komunikator poliyik yang berwewenang sering muncul sebagai elite dunia atau nasional sehingga jauh dari lingkungan dan perspektif orang biasa. (3) tidak semua anggota masyarakat tertarik pada politik. Dalam pandangan demokrasi liberal orang berusaha memiliki kemerdekaan untuk menentukan dirinya dan menentukan jarak terhadap sistem politik yang ada, termasuk hak untuk menentukan selera politik. (4) media dalam mendorong nilai-nilai demokrasi hanya dengan cara yang sesuai lingkungan politik yang berjalan.
Usaha pemerintah untuk menjaga stabilitas dalam negri dengan mencoba mendekati media dapat di pahami karena bisa di katakana hampir semua pemerintah di dunia tidak ada yang menginginkan media mengacaukan masyarakat. Mereka berusaha menjinakkan media dengan berbagai macam alat penekan, melalui penggunaan tekanan hokum (legal pressure ), ekonomi dan political pressure, undang- undaang kerahasiaan Negara, dan yang palingg buruk adalah sensor. Selain itu, pemerintah menggunakan media untuk mempromosikan diri dengan program dan kebijakannya, sekaligus untuk mengontrol dan mengetahui apa yang terjadi dalam masyarakat. Persoalan yang timbul, bagaimana profesionalisme pers bisa memahami hal ini, apakah tujuan pemerintah sejalan dengan tujuan pers.
Menurut kalangan pers, suatu hal yang agak keliru dan salah kaprah adalah jika media pers selalu di asosiasikan dengan sifat menyerang kepada pemerintah. Pers menginginkan pemerintah harus jujur, pers akan terpancing untuk mencari ketidakjujuran itu. Sebaliknya pers juga harus jujur dan tidak mencari-cari kesalahan yang tidak benar untuk kepentingan tertentu atau di peralat. Pers harus selalu waspada untuk tidak di jadikan kuda tunggangan dalam mengejar ambisi seseorang. Pers harus berusaha untuk menghindari agar iya tidak di jadikan moncong oleh para politisi, meski selama ini pers tidak pernah menjadikan para politisi sebagai moncongnya.
Meski hubungan antara pers dan pemerintah (termasuk politisi) mengalami pasang surut dalam perjuangan menegakakn demokrasi, terutama dalam mengingatkan para petugas Negara yang di beri legitimasi sebagai wakil rakyat untuk mengurus kepentingan rakyat, namun kondisi itu tidak mengurangi nyali para wartawan untuk melaksanakan profesionalisme dengan rambu-rambu hukum yang bisa menjerat mereka dalam bentuk delik pidana. Idealisme profesionalisme untuk mendudukkan mereka sebagai watchdog (anjing penjaga) seperti istilah Sayed Arabi Idiid sebagai inspektur jenderal yang bertugas mengkritisi jalannya pemerintah agar tidak melenceng dari cita-cita demokrasi. Pers sekali-kali perlu menggigit, tetapi kalau bisa jangan sampai melukai. Bahkan dalam posisi yang lebih penting pers atau media di tempatkan pada posisi the fourth branch of government, yakni sebagai pilar keempat demokrasi selain perlemen (legislative), pemerintah (eksekutif), dan peradilan (yudikatif).
Di sini bisa di lihat betapa sulit memahami kebebasan pers suatu Negara tanpa memahami system yang berlaku dalam Negara itu, sebab free press can also lead to bad government “kata kishore Mahbubini (1993). Membangun hubungan antara media dan dengan pemerintah tidak mudah sebab media selain berfingsi sebagai peredictor of political change, juga berperan sebagai political actor dalam suatu Negara. Media tidak hanya melihat dalam proses pemilu, tetapi juga dalam tugas-tugas rutin pemerintah sampai kepada pesan-pesan iklan dan program hiburan yang bernuansa politik. Keterlibatan media sebagai actor politik dapat di lihat selain perannya dalam membuat agenda untuk mendapatkan perhatian public, juga melalui berbagai bentuk publikasi yang dapat di jadikan sebagai wacana politik. Misalnya kolom yang di tulis oleh orang tertentu, feature tentang figure politisi, karikatur, sementara dalam media siaran selain dalam bentuk iklan politik, juga di sediakan program debat dan talk show yang bisa di isi oleh para politisi sebagai peluang untuk beriklan tanpa bayar.
Contoh talkshow yang pernah tayang di Indonesia adalah milik stasiun televisi SCTV, yaitu Barometer. Barometer mengangkat berbagai isu aktual yang sedang menjadi pembicaraan masyarakat, di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sesuai namanya, Barometer menjadi tolok ukur bagi publik untuk memaknai berbagai persoalan aktual di sekitar mereka. Barometer menyajikan dialog dan debat yang cerdas dan menghibur tanpa harus kehilangan kedalaman dalam menggali sebuah persoalan. Dengan durasi kurang lebih satu jam, Barometer mencoba memberikan alternatif tontonan yang mendidik sekaligus menghibur pemirsa.
Dari uraian di atas, kita memperoleh kesan bahwa hubungan antara media dan politik selama masa reformasi, kalaupun tidak lagi terlalu banyak tekanan dan campur tangan dari pihak pemerintah dan militer., konflik dengan partai politik frekuensinya cukup tinggi terutama dalam hubunganya dengan gerakan amuk masa yang banyak di gerakkan oleh partai-partai politik. Baik itu di tingkat pusat maupun di daerah-daerah.
Maraknya tampilan berita tentang korupsi, illegal logging dan unjuk rasa di gedung-gedung pemerintah, markas kepolisian, kejaksaan, dan parlemen tidak lagi menjadi momok bagi para pejabat Indonesia karena hal itu di pandang memberi peluang kepada media untuk mencoba memerankan diri dalam membantu pemerintah menciptakan good governance yang transparan dan akuntabel. Kebiasaan-kebiasaan yang tadinya di anggap sensitive dan peka dalam budaya birokrasi Indonesia semasa pemerintahan Soeharto melalui berbagai macam euphemism, makin di sadari sebagai upaya rezim orde baru mengemas diri untuk membunuh sifat-sifat kritis masyarakat. Oleh karena itu, keberania masyaraka untuk mengkritik para birokrat bukan hanya dalam bentuk berita Koran dan televise atau unjuk rasa, tetapi secara terang-terangan di lakukan dalam bentuk parody dan tayang”Republik Mimpi” menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat untuk melihat perangai para pemimpin bangsa.
Tayangan seperti ini tentu saja memiliki nilai plus minus atau pro dan konta, tetapi di sisi lain memiliki manfaat agar jabatan-jabatan birokrasi kenegaraan seperti presiden dan menteri tidak lagi di lihat sebagai posisi yang sacral dari masyarakat, melainkan pendekatan dan menteri kpepada rakyat sehingga tidak terlihat jarak yang begitu jauh. Dalam huubungannya dengan keberanian mereka melakukan kritik, mereka melihat para pejabat adalah representasi public yang memiliki legitimasi. Karena itu, mereka harus siap menerima kritik dari masyarakat. Kata Thomas Jafferson; Politician who complain about media are like sailors who complain about the sea, atau dengan pepatah lama “ jangan berubah di tepi pantai jika takut di lebur ombak, jangan jadi pejabat public jika takut di kritik oleh media.”

2.3. Media dan Privasi
Meskipun gerakan reformasi di Indonesia telah melahirkan kebebasan pers yang begitu besar, di sisi lain dampak kebebasan ini juga telah menimbulkan berbagai macam masalah. Jika semasa pemerintah Soekarno dan Soeharto banyak menimbulkan gesekan antara media dan pemerintah, hal itu bisa di pahami karena posisi pejabat public pada tempatnya mendapat sasaran kritik agar bisa menjalankan pemerintah yang baik. Campur tangan media trhadap privacy seorang pejbat public menjadi sasaran kritik karena pejabat yang di duduki merupakan presentasi dari legitimasi orang banyak.
Kasus Gari Hart misalnya mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika, dan Joseph Kenndy yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Massachusett, harus mundur karena usil media. Kasus Bill Clinton dengan Monika Lewensky yang menjadi hangat sehingga hampir melahirkan impeach buat Presiden Amerika yang fotogenik itu. Demikian juga halnya dengan calon partai Republik untuk Presiden AS 2008 McCain pernah memiliki hubungan romantic dengan Vicki Iseman menurut harian The New York Times. Vicki adalah seorang perempuan yang punya kerja sebagai pelobi dan sering muncul di kantor McCain ketika ia menjabat sebagai Ketua Komite Perdagangan Senat AS.
Kasus yang sama juga menimpa Presiden RI pertama Ir. Soekarno ketika surat-surat kabar Indonesia pada Juni 1953 ramai memberitakan perkawinannya dengan seorang jandavberanak satu yang bernama Hartini. Presiden Soekarno yang menjadi sasaran para ibu-ibu ketika itu menjawab bahwa hal itu bisa saja terjadi antara seorang laki-laki dan seorang anak perempuan.” Begitu gencarnya serangan media sampai Wakil Jaksa Agung merasa perlu memperingatkan persatuan waartawan agar tidak mempergunakan kejadian itu sebagai dalih untuk menghina preasiden. Bahkan kasus terakhir adalah perguncingan yang melibatkan Presiden RI ke-4 Abdurrachman Wahid (Gusdur) dengan Aryanti Sitepu, yang di tembus oleh para lawan politiknya melalui media sehingga Dewan Pres Indonesia harus turun tangan.
Dari kejadian itu bisa di tarik pelajaran bahwa para tokoh yang menjadi sasaran tembak adalah public figur sehingga sangat sulit di pisahkan sebagai individu dalam posisi penting, tetapi di sisi lain sebagai individu yang memiliki privasi dengan jabatan public yang di dudukinya. Suatu hal yang tidak bisa di abaikan adalah sikap pers yang kadang menjadi isu atau gosip para publik figur memiliki nilai komersial sehingga media kadang mendramatisasi masalah-masalah kecil menjadi berkepanjangan karena unsure komersialisasi tersebut. Tentu saja hal ini tidak ada larangan, tetapi salah sedikit dapat menyentuh privasi sehingga bisa menimbulkan delik hukum karena rasa malu di mana masalah pribadi yang bersangkutan di buka untuk umum.
Memang dalam banyak hal pers Indonesia sejak reformasi cenderung menyerempet hal-hal bersifat privasi sehingga di anggap melakukan fitnah dan pencemaran nama baik orang lain. Laporan terakhir Dewan Pers Indonesia bahwa mulai dari April 2000 sampai Mei 2003 telah masuk 349 macam pengaduan dari anggota masyarakat tentang hak jawab dan klarifikasi. Pengaduan ini di libatkan 189 surat kabar harian dan mingguan Indonesia atau 33 persen dari total jumlah penerbitan surat kabar dan majalah di Indonesia, serta 3 surat kabar asing.
Pengaduan dari anggota masyarakat yang di nilai telah melanggar hak-hak privasi mereka, tidak saja dalam bentuk klarivikasi dan hak jawab, melainkan banyak kasus secara terpaksa harus di selesaikan di depan meja hijau, misalnya sebagai berikut.
• Warta Republik, 25 Agustus 1999 menurunkan berita “cinta Segitiga Dua Jenderal; Try Sutrisno dan Edy Sudrajat berebut janda.” Laporan ini di muat pada edisi pertama November 1998, tanpa wawancara kepada yang bersangkutan, melainkan hanya bersumber dari desas-desus. Pemimpin Redaksi Warta Republik di adukan kepengadilan dan di jatuhi hukuman percobaan karena pencemaran nama baik.
• Akibat tulisan Kontan, edisi 13 Maret 2000, raja property Ir. Ciputra berniat mengadukan tabloid itu ke pengadilan. Pasalnya Kontan memuat tulisan mengenai aksi para konglomerasi yang di tengarai turut membiayai kasus 27 Juli termasuk Ciputra.
• 29 Agustus 2000, polisi berencana memeriksa Gatra. Hal itu di sebabkan karena Gatra telah menurunkan berita dugaan skandal Gus Dur dengan Aryanti Sitepu. Hal itu di sampaikan Kasubdisnum Mabes Polri Senior Superintenden Saleh Saaf dua hari setelah majalah Gatra terbit dengan judul cover “heboh Foto Intim Gus Dur- Aryanti.”kegiatan yang di lakukan oleh Gatra maupun Aryanti Sitepu dapat di kategorikan melanggar hukum dan etika kesantunan yang secara tendensius menyerang pribadi presiden.
• Letnen TNI Djadja Suparman mengajukan pengaduan terhadap The Jakarta Post, Jawa Pos, Radar Bali, Sumatra express, pelita, dan dan Rakyat Merdeka tentang berita “Misterius , Dua Jenderal berada di Bali Saat Ledakan.” Masing-masing pada tanggal 28 dan 29 Desember 2002.
• Surat kabar Rakyat Merdeka, 8 Januari 2002 menurunkan berita “Akbar Sengaja Dihabisi, Golkar Nangis Darah.” Akbar tersinggung dengan ilustrasi karikatur yang menyertai laporan itu dalam keadaan telanjang dada dengan peluh bercucuran, serta muka menahan tangis. Akbar merasa terhina dan mengajukan tuntunan atas pembertiaan itu.
• Tempo memuat berita 22 Februari 2003 dengan judul “Polisi Bantah Menangkap Anak Wakil Presiden Saat Berpesta Narkoba.” Berita ini di tanggapi oleh M. Said Baidury, staf khasus Walpres Hamzah Haz, sementara anak yang di tangkap adalah anak dari istri ke tiga Hamzah Haz dari suami sebelumnya.
• 20 Januari 2004, Pengadialan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis terhadap Koran Tempo untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 1 Juta kepada Tomy Winata atau berita sepanjang tahun 2003 dengan berbagai judul, antara lain ada Tomy di tanah abang. Tomy membantah dan marah di juluki sebagai “Pemulung Besar.” Akibat pemberitaan itu Tomy marah dan mengerahkan lebih 200 orang pendukungnya berunjuk rasa dengan kekerasan ke kantor redaksi Tempo.
Jika kita perhatikan kasus-kasus yang yang menyebabkan terseretnya media dalam privasi seseorang, serta tuntutan yang bisa terjadi pada media, hal itu tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Negara-negara yang telah maju. Model Dunia Naomi Campbll misalnya, pernah menuntut sebuah Koran di Amerika Serikat sebesar 3 juta dollar AS karena Koran itu memberitakan Naomi telah melakukan operasi plastic di pinggulnya. Merasa tidak pernah melakukan hal itu, dan merasa berita tersebut merusak reputasinya, akhirnya tuntutan ini di menangkan oleh Naomi dan Koran tersebut harus membayar US$ 3 juta. Mengenai privasi seseorang, sebuah survey pernah di laksanakan di Amerika Serikat dalam tahun 1982, ternyata hasilnya menunjukkan 6 dari 10 orang menyatakan menolak di wawancara oleh para wartawan, dan memandang masalah privasi seseorang jauh lebih penting dari pada kebebasan pers.

2.4. Konsenkuensi Hukum Hubungan Antara Media dengan Politik

Hubungan antara media dengan politik dapat di lihat sebagai suatu hal yang sangat menarik, terutama ketergantungan antara suumber berita dengan pihak yang memberitakan. Namun, di sisi lain hubungan itu cukup rawan jika para pekerja media tidak hati-hati menjalankan tugas kewartawanannya secara professional sebab hal itu bisa menimbulkan delik hukum. Ada beberapa faktor yang bisa menyeret para pekerja media di dalam delik hukum, antara lain:
• Arogansi profesi, terutama para pekerja media yang berusia muda;
• Tidak menjaga profesi orang lain;
• Memandang profesi wartawan sebagai profesi istimewa (merangsang oraang muda untuk aktualisasi diri);
• Melakukan malpraktik jurnalistik;
• SDM yang tidak professional-untuk bisa membedakan mana yang seharusnya di beritakan, dan mana yang tidak seharusnya di beritakan;
• Melakukan character assassination;
• Mengacaukan masyarakat;
• Menabrak rambu-rambu Undang- Undang Pers dan penyiaran serta etika jurnalistik.
Hal yang di uraikan di atas perlu mendapat perhatian bagi para pekerja media dalam menjalankan profesinya. Menurut Prof. Crispin C. Maslog, guru besar jurnalistik dari university of the Philippines Los Banos, hidup sebagai pekerja media penuh dengan resiko. Resiko itu kalau bukan dari bentuk iming-iming hadiah untuk memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu menurut kepantingan orang tertentu, seorang wartawan juga tidak luput dari bentuk-bentuk kekerasan seperti pemukulan, penculikan sampai pembunuhan. Dari catatan yang di buat oleh IPI di sebutkan sejak tahun 1997 sampai 2003, sudah ada 352 wartawan terbunuh di seluruh dunia, atau rata-rata hampir 5 orang tiap bulannya. Dari jumlah itu 109 orang di benua Amerika, 85 orang di Eropa, 75 di Asia, 43 di Afrika dan 39 di Timur Tengah (Unesco, 2003).
Di Indonesia, keadaan yang sama juga banyak di alami oleh para wartawan, sebagai mana di alami wartawan Bernas Yogyakarta, Muh. Syafruddin (udin) yang di bunuh karena kasus impress Dana Tretinggal (IDT), Ersa Siregar kameramen RCTI yang terbunuh dalam konflik bersenjata antara GAM dengan TNI di Axceh, dan penculikan reporter televisi Metro, Mautya Hafisd dan Budiyanto oleh pasukan Al-Mujahideen di Irak Februari 2005.
Efek ketidak profesionalan liputan media sudah tentu akan membawa konsenkuensi hukum dari hubungsn politik dengan media. Menurut Ginting dalam Dewan Pers (2003), ada tiga arah yang dapat di lakukan dalam mengatasi keblabasan media dan juga sealigus sebagai kendali agar media terhindar dari privacy invasion. Pertama adalah swaregulasi yang di lakukan oleh media itu sendiri, kedua melalui hukum: dan ketiga control melalui lembaga pengaduan masyarakat (ombudsmen). Banyaknya keluahan masyarakat terhadap pemberitaan pers yang diproses melalui jalur hukum, terutama dalam hal pencemaran nama baik berita indiakasi bahwa masyarakat tidak terlalu percaya terhadap kontrol internal yang ada dalam lembaga-lembaga media. Jalur hukum sengaja di tempuh sebagai bentuk “memberikan pelajaran” pada media. Dalam memberitakan suatu media suka membesar-besarkan (mem-blow up), dan ketika berita yang di siarkan itu terbukti tidak akurat, maka hak jawab atau relatnya dibuat pada kolom yang tersembunyi dalam ukuran yang sangat kecil. Suatu sikap yang oleh masyarakat di nilai tidak fair sehingga masyarakat cenderung menempuh jalur hukum dari pada hak jawab.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo (Unisco, 2002), rambu-rambu hukum yang bisa menjerat wartawan, penerbit atau stsiun peyiaran, cukup banyak (lihat table 2 ). Banyaknya pasal yang dapatm nenjerat wartawan dalam menjalankan profesinya dalam Undang- Undang hukum pidana Indonesia, juga dalam Undang- Undang perlindungan konsumen, undang- undang telekomunikasi dan audiovisual, Undang- Undang pers, dan Undang-Undang penyiaran merupakan rambu-rambu yang harus di perhatikan oleh setiap wartawn Indonesia agar tidak terseret masuk dalam delik hukum. Oleh karena itu, kebebasan pers yang selalu di gunakan di perjuangkan boleh di kata hanya sebuah idealism, sebagai mana di nyatakan oleh Merril (1983) bahwa di seluruh dunia, kebebasan per situ adalah suatu hal yang ideal, dan boleh di kata tidak ada satupun Negara yang mencapainya, apalagi untuk Negara- negara yang sedang berkembang. The Free in developing countries in particular is still more an ideal than reality. Lebih lanjut Merril menyatakan bahwa “freedom does not simpli mean to be free from everything, freev from other people, free from law, free from morality, free from thought, free from emotion.


Kebebasan pers tidak berarti harus meakukan intervensi dengan mudah para privasi seseorang.Demikian juga perlakuan hukum kepada pers tidak berarti pengekangan terhadap kebebasan pers, melainkan untuk mendidik para wartawan agar lebih profesional dan peka terhadap hal-hal sensitive yang bisa merugikan orang lain atau bangsa dalam arti luas. Untuk itu pers memiiki tanggung jawab kepada kemanusiaan, temasuk tanggung jawab terhadap demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa kebebasan berbicara dan tidak mungkin ada kebebasan berbicara tanpa demokrasi. If democracy fail, it is the foult of the press.
Sangat aneh jika dalam suatu Negara hukum ada orang tidak mau di kenai aturan hukum. Oleh karena itu, di depan hukum wartawan tidak ada bedanya dengan warga Negara yang lain. Wartawan tidak memiliki keistimewaan dalam mendapatkan akses untuk hidup seperti halnya dengan orang lain. Bahkan dalam rancangan revisi KUHP yang di susun sejak tahun 1998, pasal-pasal refresif untuk pers bukannya di hapus sifat pidananya, justru di tambah menjadi 42 pasal, sedangkan rancangan yang di buat oleh Departemen Hukum dan HAM di tambah lagi menjadiv48 pasal. Jangan harap ada kebebasan pers yang lepas dari undang-undang, sebab para hakim tidak akan membiarkan aturan itu hilang dari Undang-Undang dengan belajar dari banyak kasus yang terjadi.
Untuk menjalankan tugas-tugas jurnalistik secara profesional dan terhindar dari rambu-rambu delik aduan, maka di perlukan Undang-Undang Pers dan Kode Etik untuk di jadikan pegangan terhadap wartawan. Dengan Undang-Undang pers yang mengatur tentang fungsi, kewajiban dan peranan pers itu, secara kode etik yang dapat di pedomani oleh stiap wartawan (lihat Undang–Undang Pers dan Kode Etik Warawan Indonesia, Bab III), maka wartawan Indonesia di harapkan dapat melaksanakan tugas jurnalistiknya dengan baik sesuai dengan standar profesionanya. Untuk itu, seorang wartawan dalam mewancarai seorang sumber, perlu bersikap mawas diri dalam mengajukan pertanyaan yang tidak memojokkan sehingga menimbulkan rasa antipati dan kehilangan sumber berita. Seorang wartawan harus memiliki daya antisipasi terhadap efek dari apa yang di tulisnya, apalagi dalam situasi reformasi, dimana satu kata saja bisa menimbulkan implikasi hukum, dengan kata lain, semua sudut pemberitaan (angle) harus di cermati. Sebab untuk menciptakan sebuah surat kabar yang baik, harus memiliki komitmen, tanggung jawab, dan integritas yang tinggi terhadap profesi jurnalistik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar